Kota Kupang dan Tiga Wajah Reformasi Pelayanan Publik

  • Whatsapp
Penandatanganan berita acara peluncuran salah satu proyek inovatif lingkup Organisasi Perangkat Daerah Kota Kupang. (Foto: istimewa)

KUPANG, BN – Di tengah tantangan tata kelola pemerintahan daerah yang kerap tersandera rutinitas birokrasi, Wali Kota Kupang dr. Christian Widodo mencoba melakukan transformasi. Bukan dengan pidato muluk, melainkan melalui tiga proyek perubahan yang digagas para perangkat daerah: Baronda, Top Ranger, dan Sipedati Indah.

Peluncuran tiga inovasi belum lama ini mungkin tampak seperti seremoni biasa yakni sebuah perayaan inovasi yang sering kali berhenti di tataran simbolik. Namun, jika ditelisik lebih jauh, langkah ini merefleksikan upaya serius untuk menggeser budaya birokrasi Kota Kupang dari pola “biasanya begini” menuju sistem yang lebih terukur, transparan, dan berorientasi hasil.

Read More

Proyek pertama, Baronda (Bapenda Road to Optimalisasi Pendapatan Daerah), digarap Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) bekerja sama dengan lembaga perbankan. Tujuannya sederhana tapi krusial: memperkuat pelayanan perpajakan melalui kanal pembayaran digital, sosialisasi transaksi elektronik, dan integrasi sistem perbankan dengan pemerintah daerah.

Inovasi ini mencerminkan kesadaran bahwa kemandirian fiskal tak bisa lahir tanpa efisiensi pemungutan pajak. Dalam konteks daerah seperti Kupang, di mana potensi pajak kerap tersebar dan tidak terdokumentasi baik, Baronda bisa menjadi jembatan menuju era fiskal digital selama konsistensi implementasi tetap dijaga.

Dari ranah keuangan, inovasi bergeser ke sektor kebencanaan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) meluncurkan Top Ranger (Transportasi Online Peduli Relawan Penanggulangan Bencana Daerah), sebuah kolaborasi dengan penyedia transportasi daring.

Di balik namanya yang sederhana, Top Ranger adalah refleksi keterbatasan yang diolah menjadi peluang. Kota Kupang, seperti banyak daerah lain di Indonesia, sering berhadapan dengan bencana alam seperti banjir, angin kencang, hingga kebakaran permukiman namun kekurangan sumber daya manusia di lapangan.
Dengan menggandeng mitra transportasi online, relawan dapat bergerak lebih cepat dan terkoordinasi melalui platform digital. Sebuah contoh konkret kolaborasi publik-swasta dalam konteks kebencanaan daerah.

Sementara itu, Balitbangda memperkenalkan Sipedati Indah (Sistem Informasi Penelitian dan Data Inovasi Daerah), repositori digital yang menyimpan hasil-hasil penelitian lokal. Melalui sistem ini, setiap data kelitbangan disajikan secara terbuka dan real-time sebagai basis kebijakan pembangunan.

Inovasi ini menjawab persoalan klasik di birokrasi: keputusan tanpa data. Kupang kini berupaya membangun kebijakan berbasis bukti, bukan sekadar asumsi. Jika sistem ini berjalan konsisten, Sipedati Indah berpotensi menjadi pusat pengetahuan daerah, sesuatu yang jarang dimiliki oleh kota-kota menengah di Indonesia Timur.

Namun inovasi, betapapun canggih, tidak akan berarti tanpa perubahan cara berpikir. Dalam arahannya, Christian Widodo menegaskan agar seluruh perangkat daerah menyusun program kerja berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Jangan lagi membuat program hanya berdasarkan kebiasaan lama. Kita tidak pakai ‘biasanya begini’. Semua harus berpatokan pada RPJMD. Jangan membenarkan hal-hal yang biasa, tetapi biasakan hal-hal yang benar,” ujarnya tegas.

Pernyataan itu bukan sekadar teguran administratif. Ia menggambarkan pergeseran paradigma dari “bekerja untuk menggugurkan kewajiban” menjadi “bekerja untuk hasil yang terukur”.

Etika dan Disiplin ASN
Christian juga menyoroti dua aspek yang sering luput tapi menentukan wajah pelayanan publik: etika dan disiplin ASN. Ia menegaskan, pelayanan kepada masyarakat adalah prioritas, dan pelanggaran terhadap prinsip ini akan ditindak.

Ia bahkan menyorot soal penampilan. ASN, katanya, harus sederhana dan rapi selama jam kerja. “Penampilan berlebihan bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik. Penampilan sederhana mencerminkan profesionalisme,” ujarnya.

Bagi sebagian orang, hal itu mungkin sepele. Namun dalam konteks pelayanan publik, kepercayaan masyarakat sering kali tumbuh dari hal-hal kecil: senyum, pakaian rapi, dan kesigapan melayani.

Wali Kota juga menyinggung kebiasaan ASN yang mengisi aplikasi e-Kinerja secara rapel. Ia menegaskan tidak ada lagi perpanjangan waktu. “Kalau sudah tutup, ya tutup,” katanya.
Langkah ini sejalan dengan komitmennya menanamkan disiplin administratif berbasis digital.

Tak hanya itu, ia mengungkap penggunaan GPS pada armada kebersihan kota agar kinerja lapangan lebih transparan. “Saya bisa lihat kalau kendaraan berhenti satu jam di warung bakso,” katanya setengah bercanda.

Peluncuran tiga proyek dan serangkaian instruksi disiplin ini menunjukkan arah kepemimpinan Christian Widodo: reformasi birokrasi berbasis data dan kedisiplinan. (*/Andyos Manu/Advertorial)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *