Dira Tome Beberkan Alasannya Menggugat KPK

  • Whatsapp
Marthen Dira Tome (Dok. Pos Kupang)
Marthen Dira Tome (Dok. Pos Kupang)
Marthen Dira Tome (Dok. Pos Kupang)

KUPANG, berandanusantara.com –Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada November 2014 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Marthen Dira Tome memilih diam. Saat itu dia memang sempat mengeluarkan pernyataan akan menggugat lembaga anti rasuah ini. Namun hal itu tidak dilakukannya selama hampir dua tahun berjalan. Jumat (8/4/2014) Marthen Dira Tome telah melayangkan gugatan praperadilan terhadap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Lantas apa alasan Dira Tome sehingga baru saat ini dia menggugat KPK? Berikaut hasil wawancara bersama Mantan Kabid PLS NTT ini. “Saya ini seorang bupati. Tentu saya punya prinsip-prinsip sebagai negarawan. Walaupun saya pernah mengatakan mempraperadilan KPK, bukan serta merta kita dengan emosional langsung melakukan Praperadilan waktu itu,” kata Marthen, Minggu, (10/4/2016).

Marthen mengatakan, prapreadilan adalah hak setiap warga Negara. Tapi bukan karna adanya hak itu lalu tidak melakukan pertimbangan-pertimbangan. “Pertimbangan pertama itu adalah sebagai negarawan. Kita harapkan lembaga antirasuah ini harus tumbuh mekar dan bersemi. Kita mau lembaga ini harus tumbuh menjadi kokoh sehingga pemberantasan korupsi di Negara ini harus berjalan secara baik karena ada lembaga KPK. Kita tidak ingin lembaga ini kotor dan selesai sampai disini riwayatnya. Kita menjaga supaya bisa bertumbuh secara baik,” ungkapnya.

Dia tidak memungkiri bahwa orang-orang yang bekerja di lembaga KPK ini adalah manusia biasa dan bukan malaikat. Sebagai Manusia biasa tentu saja sewaktu-waktu bisa khilaf. “Prinsip itulah yang kita lihat bahwa kita sedang menjaga KPK tapi kita juga percaya bahwa mereka hanya Manusia bukan malaikat. Dengan harapan bahwa kalaupun KPK tidak punya ruang untuk menerbitkan SP3. Tetapi ada jalan lain, KPK bisa kembalikan kasus itu ke Kejaksaan. Apalagi kasus itu diambil dari Kejaksaan sehingga nanti lembaga ini tidak boleh ternoda hanya karena kita peraperadilan lalu mereka kalah. Ini bukan barang mustahil,” katanya.

Marthen juga mengatakan, pasca dirinya mengatakan mau melakukan praperadilan terhadap KPK, sudah ada tiga praperadilan yang menang yakni kasus Budi gunawan, Hadi Purnomo dan mantan walikota makasar. Akibat dari gugatan meraka, membuat lembaga KPK ternoda. “Saya tidak mau masuk dulu ke ranah itu. Tetapi kita lihat, waktu berjalan terus. Penetapan tersangka dari tahun 2014, sampai hari ini tidak jelas seperti apa. Yang namanya tersangka setengah dari kaki kita sudah ada dalam lubang. Sudah ada dalam penjara. Apakah kami harus digantung seperti ini,” ucapnya.

Pemahaman hukum orang indonesia lanjut Marthen, yang namanya tersangka sudah salah setengah. Oleh karena itu jika dibiarkan mengalir terus menerus ini bisa disebut pembunuhan karakter. “Kemana-mana anak-anak kita selalu disebut anak koruptor. Apa benar seperti itu. Dengan hak yang ada kita coba melakukan gugatan kesana. Tidak untuk membuat KPK malu, tidak juga untuk menunjukkan kesalahan KPK. Yang paling besar itu adalah kita ingin mencari keadilan bagi kami,” tambahnya.

Adil dalam dunia hukum itu kata Marthen ada dua, yakni ketika orang bersalah harus di hukum dan orang benar maka harus dibebaskan. “Saya harap di KPK harus ada itu. Keadilan itu harus ada dengan prinsip orang di KPK itu bukan malaikat. KPK itu tidak boleh menjadi sama seperti perangkap tikus. Ada pintu masuk tapi tidak ada pintu keluar. Itu sangat berbahaya. Tikus mana saja yang masuk apakah itu hitam putih biru blau jika masuk kesitu bisa dihukum mati hanya karena terlanjur masuk kesitu. Harus ada kearifan disini. Saya juga setuju tidak perlu rubah undang-undang, tapi lebih setuju lagi kalau KPK melakukan tindakan-tindakan kedalam yang tidak merugikan orang lain. Kalau dia melihat kondisi itu kembalikan saja ke Kejaksaan supaya bisa di SP3. Itu selesai. Negara bisa kok,” ujarnya.

Contoh kasus Abraham Samad ungkap Dira Tome, ada deponering oleh Mahkamah Agung sekalipun sudah tersangka dengan tujuan untuk kepentingan yang lebih luas. Dirinya setuju untuk KPK itu tidak ada SP3 supaya jangan hanya para koruptor saja yang jera, tapi juga orang-orang di KPK harus lebih hati-hati dan tidak boleh bertindak salah.

“Kami telah ditetapkan sebagai tersangka. Kami merasa tidak adil karena kami merasa tidak bersalah. KPK menetapkan orang menjadi tersangka tanpa sebuah proses seuai Protap mereka. Kami ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Oktober 2014. Bulan November baru mulai periksa saksi. Penetapan seorang calon tersangka menjadi tersangka harus melalui suatu proses pemeriksaan. Tapi itu tidak dilakukan tiba-tiba kami ditetapkan sebagai tersangka. Itu salah. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Saya dan Jhon Manulangga. Kapan kami diperiksa. Kapan Manulangga diperiksa. Dia meninggal tanggal 31 Desember 2011, ditetapkan sebagai tersangka 2014. Ini kondisi yang terjadi makanya saya bilang kita ini manusia bisa. Kita bukan malaikat. Karena itu tidak terlepas kekhilafan,” bebernya.

Tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya lanjut Marthen, pihaknya dianggap telah melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan. “Kewenangan yang mana yang kami salah gunakan. Saat itu ketika Kejaksaan Tinggi NTT memeriksa kami, saat itu Kajati mengatakan sulit menemukan alat bukti dan itu diliput oleh media. Alat bukti yang mana kita sudah jawab dan buktikan,” kata Marthen.

Tuduhan lain kata Marthen, Forum PLS itu dibentuk oleh dirinya untuk mengelola keuangan. Itu salah alamat. Forum PLS itu dibentuk karena dua dasar. Dasar pertama itu karena adanya forum pusat yang terbentuk 2005. Forum PLS punya AD/ART. Dalam AD/ART itu forum pusat beranggotakan semua tenaga kontrak. Akibat karena itu maka serta merta forum Provinsi dan Kabupaten/kota itu harus dibentuk karena beranggotakan semua tenaga kontrak yang ada hingga kebawah. Forum di Kabupaten/kota adalah perpanjangan tangan forum pusat. Selain itu ada surat edaran dari ketua forum pusat yang meminta segera membuat forum di Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Forum pusat dibentuk tahun 2005, di NTT dibentuk tahun 2006. Ada tiada Anggaran PLS itu Forum itu harus terbentuk,” ujarnya.

Dasar kedua pembentukan Forum PLS kata Marthen, adalah adanya sebuah Juknis dari Direktorat PTK PNF yang meminta forum harus dibentuk. Didalam juknis itu mengatakan forum itu harus dideklarasikan oleh lembaga yang lebih tinggi. Jika tidak ada lembaga itu di daerah maka diwajibkan untuk dideklarasikan oleh Kepala Dinas Provinsi yakni Jhon Manulangga. Forum itu dibentuk bukan dalam rangka mengelola keuangan.

“Forum itu dibentuk untuk memenuhi dan menjawab tuntutan dua itu tadi yakni Forum pusat dan Juknis. Jhon Manulangga pensiun tahun 2006, Kasus ini terjadi tahun 2007 kok Jhon Manulangga tersangka? hubungannya apa, karena Jhon Manulangga mendeklarasikan forum ini. Sekali lagi ada dan tiada anggaran PLS, Forum ini harus terbentuk. Tugas Forum itu jelas yakni membangun hubungan komunikasi dengan semua lembaga termasuk lembaga pemerintah. Mereka terdiri dari TLD-TLD, tenaga lapangan. Mereka punya lembaga yang berbadan hukum, mereka punya NPWP, mereka punya rekening dan lain-lain. Lalu kemudian karena pergumulan dan kesulitan lapangan dengan program PLS yang begitu luas hingga ke bawah. Dia tidak ada di satu tempat PLS itu. Tidak sama dengan sekolah formal yang 1000 orang lalu ada di satu tempat. Satu ada di desa ini satu ada di desa lain, begitu menyebarnya. Karena itu mengalami kesulitan yang luar biasa bagimana mendistribuskan uang. Ini dana Dekon, ini ada aturannya. Aturannya juga terikat dengan aturan KPKN,” beber Marthen.

Dia menjelaskan, pencairan keuangan ini menurut Juknis, langsung ke rekening penyelenggara. Ketika mau dicairkan, maka tuntutannya, lembaga harus punya NPWP dan Rekening. “Sulit bagi mereka yang baru membuat lembaga untuk membuat itu. Maka sepakat mereka semua yakni Forum yang diwakili oleh kepala bidang seluruh NTT supaya pencairan uang itu tepat waktu dan program bisa berjalan baik dan hasilnya maksimal maka mereka sepakat uang itu dicairkan lewat Forum Provinsi lalu dari situ dicairkan lagi ke Forum Kabupaten dan melanjutkan itu ke penyelanggara. Atas nama efektivitas dan efisiensi itu kami lakukan itu. Bukan kehendak saya. Salah alamat kalau penegak hukum menuduh saya seolah-olah saya yang menggagas itu. Sebagai PPK saya lakukan itu, selain karena permintaan lapangan untuk mempermudah pelaksanaan program ini supaya program ini jangan gagal dan uang kembali ke Jakarta, karena itu dana dekonsentrasi kita lakukan itu. Karena kesulitan lapangan kita lakukan,” ungkap Marthen.

Yang kedua, kata Marthen, bukan dirinya yang menandatangani SK Pembentukan Forum. “Setelah itu kita ajukan kepada kelapa Dinas. Kepala Dinas mengeluarkan SK menunjuk Forum Provinsi itu sebagai penyelneggara penyalur keuangan. Pertanyaanya, Kewenangan mana yang saya salah gunakan. Saya ini eksekutor, saya laksanakan itu. Jadi dari sisi proses itu sudah benar karena kepala Dinas itu adalah kepala lembaga yang berhak untuk mengambil Tindakan itu. Ada kebijakan-kebijakan yang kita tempuh dalam rangka memperlancar program sesuai juknis dari pusat,” tambahnya.

Dalam juknis itu mengatakan Juknis ini tidak lengkap, tidak sempurna, oleh karena itu butuh inovasi dan kreativitas daripada penyelenggara sehingga hasilnya maksimal. “Ada itu, Juknis memberi ruang. Ada Juknis dari Direktorat Dikmas mengatakan pencairan anggaran harus dilakukan sesuai dengan mekanime yang berlaku di daerah. Yang salah siapa, jangan karena mereka sudah terlanjur baru ini dipaksakan. Yang berikut terkait dengan praperadilan itu, ada kejanggalan-kejanggalan terhadap tuduhan yang dilakukan kepada kami. Kalau mereka bilang sudah cukup alat bukti lalu menetapkan orang jadi tersangka. Pertanyaan saya, orang-orang itu diperiksa untuk apa lagi,” ujarnya.

Argumen KPK yang dilansir Media kata Marthen, bahwa pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka mencari tambahan alat bukti, membuktikan KPK memang masih membutuhkan alat bukti tapi sudah menetapkan sesorang jadi tersangka “Kalau mereka butuh tambahan alat bukti berarti alat bukti masih kurang. Ingat bahwa KUHAP itu mengijinkan bahwa minimal harus dua alat bukti yang sah. Kalau tidak sah kenapa kau buru-buru menetapkan orang tersangka. KPK itu jangan berharap mendapatkan jawaban yang berbeda dari teman-teman. Jangan juga menuduh seakan-akan ini sudah distel oleh saya. Boleh minta kepada mereka dan sumpah mereka apakah saya pernah mengambil uang satu sen dari mereka atau mereka pernah memberi saya satu batang rokok atau tidak. Saya bukan malaikat, tapi saya ingin mengatakan bahwa saya telah melakukan program ini dengan nurani yang baik dengan melibatkan semua orang,” tutur Marthen.

Dirinya berharap agar tidak menjadi korban hanya karena KPK tidak faham akan program PLS. “Harapan kami jangan mereka memaksakan kehendak bahwa mereka akan mendapatkan jawaban lain dari teman-teman penyelenggara. Itu tidak mungkin terjadi. Jangan mereka melakukan jebakan-jebakan bahwa teman kamu itu bilang begini kenapa kamu bilang begitu. Hukum itu tidak boleh putar balik Hukum itu merupakan wasit yang baik. Jangan tipu sini tipu sana supaya orang mengakui yang lain, itu tidak boleh. Jika mereka melakukan itu maka Tuhan yang akan mengadili mereka,” tegasnya.

Marthen juga menghimbau kepada semua penyelenggara PLS, untuk pergi memberikan pertanggungjawaban bagi mereka yang membutuhkan pertanggungjawaban sebagaimana yang kerjakan, dialami dan dirasakan.

“Itu saksi, jangan dipaksa-paksa. Kalau dipaksa, bangun dan kita bertemu di pengadilan. Ini yang kami rasakan tidak ada keadilan disini. KPK mengatakan bahwa sudah cukup alat bukti tapi masih periksa saksi sampai saat ini. Juru bicara KPK di koran mengatakan masih mencari tambahan alat bukti, kalau begitu masih kurang alat bukti tapi kenapa menetapkan tersangka. Logikanya begitu. Kami ditetapkan tersangka satu paket dengan Jhon Manulangga. Masalah yang sama diumumkan satu hari pula, lalu kemudian dikatakan sprindiknya berbeda. Jadi Jhon Manulangga punya sudah ditinjau kembali. Berarti KPK sudah bisa meninjau kembali sesorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Berarti tidak butuh lagi revisi Undang-Undang. Kalau Jhon Manulangga bisa ditinjau kembali berarti saya juga bisa ditinjau kembali kalau lihat kondisi ini. Saya tidak tahu dosa saya apa,” ujarnya.

Terkait masalah pengadaan buku kata Marthen, KPK mensinyalir bahwa pengadaan buku fiktif semua. Padahal semua penyelenggara mengatakan mereka sudah terima buku. “Mereka paksakan Ini. di Kejaksaan saya bersama teman-teman sudah jelaskan kepada mereka. Juknis itu secara jelas mengatakan ada pengadaan buku dan belanja bahan ajar. Dalam juknis mengatakan bahwa pengadaan buku wajib tunduk pada Keppres 80 tahun 2003. Dengan demikian kita lakukan tender lelang, kita umumkan di koran. Orang melakukan penawaran dan tetapkan pemenang dan semua terima buku,” katanya.

Pada poin B lanjut Marthen, ada belanja bahan ajar. Belanja bahan ajar ini uangnya ditaruh ke penyelenggara. “Mau beli di kios kek, toko kek atau dimana saja. Sayangnya buku itu tidak ada di Kios atau Toko apalagi di Kaki lima. Buku itu hanya ada di penerbit. Penerbit tidak akan cetak buku tersebut jika uangnya datang sepotong-sepotong. Karena itu uangnya harus masuk ke penyelenggara dulu. Satu kelompok paket A itu 20 orang, nilai buku 2 juta rupiah. Satu kelompok paket B ada 40 orang, nilai uangnya 4,5 juta. Karena kelompok ini menyebar hingga pelosok-pelosok bagimana penyelenggara bisa belanja sampai ke Surabaya dengan uang 2 juta rupiah tanpa biaya operasional. Dengan demikian dimintalah oleh penerbit, kami bisa layani yang penting uangnya kumpul dulu, kami tidak layani satu-satu. Kumpul dulu supaya kami tahu berapa jumlahnya. Ini yang disebut dengan dana swakelola. Jangan dipaksakan untuk lelang karena itu akumulasi uang yang terkumpul,” terang Marthen.

Alim Tualeka sebagai penerbit lanjut Marthen, punya jaringan dan dia bagi lagi ke teman-temannya untuk mengerjakan buku ini. Ada yang dari bandung, ada juga dari tempat lain. “Lalu si Alim Tualeka ini minta kepada teman-tamennya. Kami hanya minta ke Alim Tualeka, dia yang pesan kepada teman-temannya. Ini yang celaka. Jaksa ini celaka disini. Jaksa Robert Lambila itu. Itu jaksa sial dan celaka itu. Pergi ke Bandung diam-diam. Ada satu yang namanya Nina, tanyalah dia bahwa dari NTT ada pengadaan buku. Disana tidak ada NTT, Dia tidak kenal NTT, karna kita tidak berhubungan dengan orang itu. Alim yang berhubungan dengan orang itu. Kalau Alim ada, tapi NTT tidak ada. Alim minta lagi Forum untuk atur buku-buku itu. Dikirimlah ke PKBM Mordekai. Alim memberikan biaya pengiriman, biaya honor bagi anak-anak supaya buku-buku itu di atur dan kirim ke daerah-daerah. Itupun jadi persoalan. Pertanyaannya, uang yang diberikan oleh Alim Tualeka kepada Forum itu, uang siapa? uang Negara atau uang Alim Tualeka. Harus dibangun logika yang baik dulu bukan bagun logika sesuai keinginannya. Harus kebutuhan lapangan yang diutamakan. Mau belaja sendiri pun uang akan abis tapi buku tidak akan pernah dapat. Yang rugi itu generasi ini. Yang rusak masyarakat yang tidak bisa mendapat buku. Saya omong ini supaya ditulis secara baik supaya orang paham secara baik tentang PLS itu seperti itu,” ujarnya.

Terkait hasil pemeriksaan BPK kata Marthen sudah diselesaikan setelah semua kwitansi dilengkapi. “BPK periksa kami, jangan BPK, Inspektorat Jenderal pun periksa kami. Dalam pemeriksaan BPK ada indikasi KKN disitu, kenapa ada indikasi KKN disitu karena kami belum tarik semua kwitansi yang ada di lapangan. Setelah kami tarik semua kwitansi dilapangan masalah ini selesai. Pemeriksaan Inpektorat Jenderal hasilnya nol, tidak ditemukan apa-apa disitu. Mereka bilang ini sudah benar dan ini hanya politis. Ada hasil pemeriksaannya,” ungkapnya.

Ada pemberitaan kata Marthen bahwa ada sejumlah barang bukti yang KPK bawa pulang ke Jakarta. “Sampah yang mereka bawa ke Jakarta. Pemeritah NTT harus berterimakasih kepada KPK karena mereka telah mengurangi sampah disini dengan mebawanya ke Jakarta. Saya pikir kalau Ahok tahu pasti dia akan marah, dia lagi bersihkan sampah tapi kok ada lagi yang bawa sampah kesana. Sudah berapa koper yang mereka bawa kesana. Saya heran kepada teman-teman wartawan yang menulis bahwa itu alat bukti yang dibawa KPK. Itu alat bukti kebenaran yang mereka bawa ke Jakarta. Itu alat bukti kebenaran bahwa uang telah sampai ke sasaran karna itu adalah kwitansi yang ditandatangani oleh para tutor dan penyelenggara dan lain-lain bahwa mereka telah menerima uang itu. Orang sudah bosan bicara kasus PLS ini,” tuturnya.

Terkait KPK akan panggil lagi ratusan orang untuk diperiksa, Marthen meminta supaya memanggil semua Penyelenggara, Tutor termasuk warga belajar. “Kami harap kalau mereka panggil teman-teman, ganti uang transport mereka. Jangan mereka panggil ke Jakarta juga tapi tidak mengganti transport mereka. Saya minta jangan sekali-kali cepat-cepat menuduh. Ini masalah mati hidup, ini masalah masa depan. Apa yang saya buat, saya buat gugatan supaya saya terlepas dari situ, supaya saya bisa menerima keadilan. Kami telah menyiapkan saksi-saksi. Jangan sekali-kali mengancam teman-teman kami yang diperiksa dengan ancaman mau ditetapkan sebagai tersangka kalau tidak mengaku. Mereka datang dengan suara yang sama karena mereka bekerja sesuai petunjuk pelaksanaan dan itu yang mereka lakukan. Semua orang PLS pegang petunjuk itu. Semua orang sudah mengatakan sudah terima buku, sudah terima uang, apa lagi. Bilang pada kami ada bukti awal apa yang mereka pegang. Ada bukti materil apa yang mereka pegang, ada bukti formil apa yang mereka pegang. Ini adalah bagian dari pembelajaran bagi masyarakat. Mari kita bertarung secara baik, mari kita berargumen. Saya punya hak itu, saya gunakan hak itu,” tegasnya.

Dia mengatakan bahwa dirinya mendukung KPK. “Saya mencintai lembaga itu. Saya mau lembaga itu tetap kokoh. Tapi unsur kehati-hatian harus dijaga bersama supaya jangan ada yang korban karena lembaga ini tidak punya kewenangan memberikan SP3. Karena orang sudah terlanjur masuk hanya oleh kesalahan satu orang, kemudian kita di hukum hanya karena keterlanjuran. Saya harap keadilan itu harus mengalir. Kalau kami bersalah kami siap dihukum tapi kami merasa tidak bersalah. Saya merasa tidak menerima uang,” katanya.

Ditanya Soal kuasa hukum, Marthen mengatakan bahwa kuasa hukum yang mendampinginya dalam kasus ini ada yang dari NTT dan juga dari Surabaya. “Kuasa hukum yang mendampingi kami yang biasa-biasa saja. Saya tidak mau mencari kuasa hukum hanya untuk memenangkan perkara ini. Saya mencari kuasa hukum yang bisa meluruskan jalannya perkara ini. Karna itu saya cari yang memang yang bisa meluruskan perkara ini. Ada dari Surabaya. Dari sini, ada Jhon Rihi, Lorens Mega Man, Abdul Wahab, Marsel Radja, Samuel Haning. Kalau ada lagi yang mau gabung mari kita sama bersama berjuang bahwa kasus ini bersih. Saya memeiliki keyakinan bahwa teman-teman kita dari NTT memiliki kemapuan. Kemapuan untuk menggali riwayat kasus ini sehingga kasus ini menjadi bersih,” tutupnya. (AM/seputarntt.com)

Related posts