Ketika Kemampuan Intelektual Didikte Oleh Kemajuan Teknologi

  • Whatsapp

(Catatan Lepas; Keprihatinan Akan Potensi Intelektual yang Kian Mengabu-abu)
Oleh: Oceph Namang/ Pemerhati sosial dan budaya, tinggal di Lewoleba*

Keprihatinan akan menurunnya kemampuan intelektual generasi masa kini kian bermunculan dari berbagai kalangan. Kemunduran kualitas intelektual generasi masa kini dilatarbelakangi oleh kemajuan teknologi yang kian canggih dan makin pesat dari waktu ke waktu. Harapan akan masa depan bangsa yang ada di pundak generasi muda sepertinya mengalami kekaburan. Harapan itu sepertinya menjadi abu-abu tanpa suatu kepastian. Mengapa menjadi abu-abu? Kegelisahan ini muncul dari fakta mendasar bahwa kualitas generasi penerus mengalami penurunan kualitas intelektual dari waktu ke waktu.

Kepesatan kemajuan teknologi seakan memboncengi dua efek sekaligus yang tidak bisa dilepas pisahkan ibarat dua sisi mata uang logam. Efek positif dan efek negatif tidak biasa disangkal keberadaannya di balik kepesatan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi memberikan efek positif dengan menawarkan berbagai kemudahan yang sangat membantu manusia dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Manusia mengalami kemudahan dalam berbagai bidang. Akan tetapi, di balik kredit lebih terselubung pula nilai minus dari kemajuan teknologi. Kepesatan kemajuan teknologi seakan sedang membuat pembodohan terhadap generasi zaman ini. Banyak generasi yang menjadi penyembah kemajuan zaman, bahkan menjadi korban pembodohan teknologi.

Intelektual seolah sedang didikte oleh kepesatan kemajuan teknologi. Bukti nyata pembodohan itu semisal, ketika seorang siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau pun dosen, maka tentunya cara yang dipilih untuk mengerjakan tugas itu adalah cara yang paling gampang. Dengan kemajuan teknologi maka ia akan mengunjungi warnet dan mengcopy paste tulisan-tulisan yang sudah dishare oleh orang lain tanpa mencantumkan sumber dan memasukan ide-ide pribadi. Tanpa disadari proses pembodohan sedang berlangsung. Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari hal ini, karena mereka berprinsip “yang penting ada”, “yang penting selesai”, dan “yang penting dapat nilai”.

Bertolak dari keprihatinan ini, perlu suatu shock therapy dari berbagai elemen yang bertanggung jawab terhadap perkembangan intelektual generasi masa depan bangsa ini. Berbagai stakeholders yang terlibat di dalam pembinaan dan pengembangan intelektual anak perlu mendidik dan mengarahkan anak untuk dapat memahami hal ini. Ketika terus terjadi pembiaran maka hal ini tidak akan perna berakhir. Ketika masuk dalam lingkungan pendidikan, para peserta didik perlu diberi shock therapy dengan mengambil suatu sikap tegas terhadap berbagai penyelewengan ini. Karena ketika proses pembiaran terus dipelihara maka anak tidak akan pernah menyadari kesalahan yang dibuat. Ketita stakeholders pendidikan berkelit dengan mengedepankan mekanisme bela diri maka pembiaran akan terus berlanjut dan secara tidak sadar sedang membantu menciptakan kehancuran bagi generasi penerus.

Harapan akan ketajaman suara hati untuk menyadari kesalahan yang dibuat sepertinya akan terus menjadi angan-angan karena suara hati telah menjadi tumpul. Keabu-abuan kualitas intelektual juga sepertinya terus didukung oleh gonta ganti berbagai aturan pendidikan tanpa suatu arah dan tujuan yang jelas. Aturan pendidikan akan berubah sesuai dengan orang yang menjabat bidang itu di saat itu. Ketika kursi kepemimpinan dialih tugaskan akan muncul system baru tanpa arah dan tujuan yang jelas. Salah satu bukti actual keamburadulan sistem pendidikan adalah proses Ujian Nasional (UN) tahun 2013. Kemburaduran UN ini sepertinya menjadi keprihatinan semua pihak tanpa kecuali.

UN sepertinya berjalan tanpa arah yang jelas. Pada titik ini muncul pertanyaan, kapan idealisme akan terciptanya generasi penerus yang kompeten dan handal dapat tercapai? Kapan Negara tercinta ini dapat bersaing dengan Negara-negara maju lainnya ketika apa yang menjadi dasar utama amburadul semacam ini? Negara ini ibarat sedang membangun rumah diatas pasir. Karena itu, ketika datang banjir dan badai bangunan itu akan hanyut terbawa banjir dan badai. Ketika Negara ini tidak memiliki dasar pendidikan yang jelas dan kuat maka akan terus terombang-ambing tanpa pendirian yang jelas dan pasti.

Usia kemerdekaan Indonesia sudah mencapai 69 tahun. Ketika usia ini disandingkan dengan usia manusia maka sebetulnya sudah tergolong matang dan bahkan boleh terbilang tua. Tetapi mengapa system pendidikan masih terus menjadi arena uji coba berbagai macam ide gemilang para pemimpin? Apakah belum saatnya ditetapkan suatu system dan pola pendidikan yang paten yang patut dipertahankan dan dijadikan dasar yang kuat untuk bersaing dengan negara-negara lain?

Gonta-ganti system pendidikan dari waktu ke waktu sesuai selera pemimpin akan terus menghantar Negara tercinta ini pada ketakpastian. Dalam ketakpastian individu-individu yang menghuni bangsa ini akan terus disetir oleh kemajuan zaman dan kemajuan teknologi. Latar belakang pendidikan sangat mempengaruhi individu untuk memilah-milah setiap pengaruh yang masuk. Ketika pembiaran terus berlangsung maka bukan suatu hal yang mustahil bahwa pembodohan generasi akan terus berlangsung.

Intelektual akan terus didikte oleh teknologi yang merupakan hasil dari kemajuan pendidikan di Negara-negara maju. Sadar atau tidak Indonesia pun sedang didikte oleh Negara-negara maju. Kapan perubahan mesti disuarakan jika saja setiap individu terus bungkam? Kapan perubahan itu perlu terjadi kalau bukan sekarang? Kapan keriduan akan generasi yang berkualitas biasa tercapai, jika kita tidak menginginkan perubahan? Mari bergandengan tangan merajut satu mimpi demi satu tujuan yang sama yakni terciptanya generasi Indonesia yang handal dan potensial. Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Related posts