Ketika Para Guru Mengungkapkan dengan Jujur Kelemahannya

  • Whatsapp
Guru berdiskusi atas kelemahan-kelemahan yang mereka rasakan, sebelum merancang program yang sesuai untuk mengatasi kelemahan tersebut. (Ist)
Guru berdiskusi atas kelemahan-kelemahan yang mereka rasakan, sebelum merancang program yang sesuai untuk mengatasi kelemahan tersebut. (Ist)
Guru berdiskusi atas kelemahan-kelemahan yang mereka rasakan, sebelum merancang program yang sesuai untuk mengatasi kelemahan tersebut. (Ist)

WAINGAPU, berandanusantara.com- “Saya belum mampu mengelola kelas dengan baik ketika anak-anak ribut. Saya jarang membuat media sendiri yang bisa mengefektifkan pembelajaran. Berkaitan dengan kurikulum, saya masih kurang memahami cara penilaian dengan memakai kurikulum 13,” ujar bu Yuli, salah satu guru kelas awal dari salah satu sekolah dasar di Kecamatan Hahar, Sumba Timur, 15 Februari 2018

Lain lagi dengan Ibu Kartini, “Saya kemarin tidak melakukan apersepsi atau awalan mengajar. Saya langsung masuk ke pembelajaran inti, padahal apersepsi itu penting untuk mengingat kembali pembelajaran sebelumnya. Saya waktu itu kurang mempersiapkan diri sebelum mengajar,” ujarnya polos.

Ibu Mardiana, pengajar kelas satu sekolah dasar mengungkapkan bahwa dari dua puluh sembilan orang muridnya, hanya empat yang sudah benar-benar lancar membaca. Lainnya masih terbata-bata. Ia merasa belum memahami secara benar bagaimana mengajar secara efektif yang membuat anak bisa menyambungkan huruf dan membaca lancar dengan cepat.

Guru- guru tersebut adalah sebagaian dari guru-guru dari tiga sekolah yang diajak kembali oleh INOVASI, sebuah program Pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah Australia, untuk merenungkan kelemahan-kelemahannya selama ini dalam pembelajaran. Bukan untuk dihukumi, atau dinilai, tapi untuk dicari jalan keluarnya. Kekurangan atau kelemahan tersebut dianggap sebagai masalah yang memiliki akar masalah dan mereka juga diharapkan bisa merancang sendiri kegiatan untuk mengatasi akar masalahnya. Kegiatan program yang diharapkan bisa membuat mereka lebih siap, mampu dan nyaman dalam mengajar.

Namun dibalik ungkapan kejujuran tersebut, ada perjuangan tulus yang mereka lakukan untuk sekolah mereka. Mereka semua adalah guru honorer yang sudah mengajar kelas awal lebih dari sepuluh tahun, dengan honor yang amat minim, di bawah 300 ribuan.

Ibu Mardiana , misalnya, sudah mengajar selama 13 tahun. Awalnya di hanya lulus SMA dan diminta oleh sekolah untuk mengajar karena sekolah kekurangan guru. Ia langsung mengatakan siap. “Jadi waktu mengajar, karena saya hanya lulusan SMA, saya asal mengajar saja. Saya tidak tahu waktu itu metode-metode mengajar,” ujarnya.

Untuk meningkatkan kompetensinya, ia melanjutkan kuliah PGSD jarak jauh yang ia tempuh mulai 2006 dan selesai pada tahun 2013 atau selama tujuh tahun. Biaya kuliahnya 750 ribu per bulan. Uang honor yang ia terima per triwulan dari sekolah sebenarnya tidak cukup untuk membiayai hidup dan SPPnya tersebut. Akhirnya ia mengajar sambil jualan kue. Ia sempat ambil cuti semester beberapa kali karena tak kuat dengan biaya kuliahnya.

Demikian juga ibu Kartini. Ia sudah menjadi guru honorer 12 tahun. Mulai tahun 2005. Gaji honorernya juga tak cukup untuk membayar kehidupan sehari-hari dan kuliah S1 PGSD yang ia tempuh, sehingga beberapa kali mengambil cuti semester. Hal yang sama juga terjadi pada Ibu Yuli.

Mereka adalah para guru kelas awal yang memiliki dedikasi tinggi untuk membuat anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik. Tanpa banyak digaji, dengan beban kehidupan modern yang amat tinggi, mereka tetap bekerja sepenuh hati dan tetap melanjutkan kuliah untuk meningkatkan kapasitas mereka. Mereka sudah menisbahkan dan mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan

Mereka juga amat haus pembelajaran dan pelatihan agar bisa meningkatkan kompetensi mereka yang mereka rasa masih sangat kurang. Di kecamatan Hahar, tempat sekolah tersebut, internet masih sangat susah dicapai. Sinyal telepon hanya bisa dicapai di beberapa titik tertentu saja sehingga informasi pendidikan juga susah diakses.

“Saya di sekolah harus mengajar memakai K13, sedangkan saya belum pernah menerima pelatihan tersebut dan juga susah mendapatkan akses informasi. Akhirnya untuk mengatasi kelemahan saya, saya belajar dari teman saya, ibu Servina,” ujar ibu Yuli.

Mereka juga mengatakan bahwa pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG), sebagai ajang untuk meningkatkan kompetensi guru, kurang rutin dilakukan oleh sekolah. Hal ini, menurut mereka kemungkinan karena kurangnya dana. Di sekolah mereka, KKG dilakukan rata-rata cuma satu kali per satu semester.

“Oleh karena itu, kami berharap INOVASI, setelah kegiatan eksplorasi masalah-masalah kami ini, melatih kami untuk membuat kami lebih kreatif, mengajar dan mengelola kelas dengan lebih baik, ” harap Ibu Mardiana.

Program INOVASI di NTT dimulai pada bulan Juli 2017. Penandatanganan MoUnya dengan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan bulan November 2017. Program ini akan dilaksanakan sampai tahun 2019.

“Kita berharap semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat, memikirkan nasib guru. Peningkatan kompentesi dan taraf hidup mereka sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak-anak di sekolah,” ujar Hironimus Sugi, Provincial Manager INOVASI untuk NTT di Sumba Timur. (Am/Tim)

Related posts