Pilkada dan Dampaknya Bagi Pemimpin Gereja

  • Whatsapp

61Yewango

Oleh: DR. Andreas A Yewangoe

BERANDANUSANTARA.COM – Pemilu dan serentetan Pilkada yang mesti dijalani oleh warganegara Indonesia bukan saja melelahkan rakyat, melainkan juga membawa gonjang-ganjing di dalam gereja.

Kelelahan rakyat, sebagaimana dibaca dalam harian Kompas 6 September 2013 terungkap dalam sikap “masa bodoh” terhadap berbagai kegiatan demokratis ini. Konon, hanya 40% dari rakyat Indonesia yang bersedia ikut-serta dalam kegiatan-kegiatan Pemilu dan Pilkada, sedangkan selebihnya bermasa bodoh alias golput. Kalau hasil survei ini benar, maka tentu saja sangat menguatirkan bagi kelangsungan negara dan bangsa ini: 60% yang tidak mau tahu-menahu dengan agenda negara dan bangsa bagi perwujudan demokrasi bukanlah jumlah yang sedikit.

Dari sejarah dunia kita belajar, bahwa justru karena rakyat Jerman bermasa bodoh pada pemilihan umum tahun 1939, maka Hitler terpilih menjadi Kanselir dan partai Nazi menjadi partai berkuasa. Akibatnya kita sudah lihat, bukan saja demokrasi dibunuh atas nama demokrasi, melainkan juga Jerman terperangkap dalam Perang Dunia II yang membawa korban yang tidak sedikit.

Tentu kita tidak bermaksud menyamakan Indonesia dengan Jerman dalam kasus ini. Namun kalau tidak diperhatikan dan ditangani secara serius, bukan tidak mungkin orang-orang buruklah yang terpilih dalam pemilu dan pilkada-pilkada. Negara kita yang sudah terpuruk akan makin terpuruk pula.

Itulah alasannya mengapa FUKRI (Forum Umat Kristiani Indonesia) jauh-jauh hari sudah menyerukan kepada seluruh umat Kristiani Indonesia untuk tidak mengambil sikap Golput. Seruan ini tidaklah didasarkan pada sesuatu yang ideal, yaitu hahwa orang-orang terbaiklah yang akan terpilih nanti, melainkan pada prinsipminus malum. Artinya lebih baik kita memilih yang kurang buruk dari yang terburuk, ketimbang tidak sama sekali.

Gonjang-ganjing Dalam Gereja

Pemilu dan serentetan Pilkada tersebut juga telah membuat gonjang-ganjing gereja dan pimpinannya. Kalau dikatakan di sini gereja tergonjang-ganjing, tidaklah dimaksudkan bahwa ia (gereja) mengambil sikap tabu politik. Tidak!

Sudah lama kita menegaskan, bahwa politik adalah salah satu bidang pelayanan gereja. Maka tidak boleh dijauhi. Sementara itu, kita juga telah membuat pembedaan antara “politik dalam arti luas”, dan “politik dalam arti sempit”. Dalam arti luas, politik adalah kemampuan untuk hidup dalam polis (boleh dibaca kota, negara, bangsa). Artinya kemampuan menerima keberbagaian suku, agama, etnis di dalam sebuah masyarakat, namun tidak menghalangi kita untuk membangun bagi kepentingan bersama. Malah keberbagaian itu merupakan kekayaan bersama yang dapat dipergunakan untuk saling memperkaya. Maka dalam hal ini orang-orang Kristen tidak boleh mengasingkan diri, alias masuk ke dalamghetto.

Pada pihak lain, dalam arti sempit, politik mempunyai makna pengambilan kekuasaan, atau bahkan perebutan tentu saja dengan cara-cara demokratis. Kekuasaan sendiri bukanlah sesuatu yang buruk. Namun demikian, haruslah terus-menerus dipertanyakan kekuasaan itu untuk apa. Yang jelas, kekuasaan bukanlah demi kekuasaan, melainkan untuk melayani.

Dalam hal ini orang-orang Kristen yang berminat dan mempunyai keahlian di bidang politik didorong untuk ikut-serta. Bukan saja didorong, melainkan juga dipersiapkan melalui berbagai pendidikan politik yang dapat diprakarsai oleh gereja. Namun untuk menyalurkan aspirasi politiknya, mereka bisa melakukannya melalui partai-partai politik, bukan melalui gereja. Haruslah terus-menerus disadari bahwa gereja bukanlah partai politik.

Agak menonjol dalam tahun-tahun terakhir ini adalah gejala keterlibatan pendeta dalam politik demi kekuasaan itu. Hal itu terungkap dalam beberapa cara, yaitu entahkah sang pendeta menjadi kordinator team sukses seseorang/segolongan, atau sendiri menerjunkan diri.

Tentu saja hal-hal ini menimbulkan kegerahan di dalam gereja. Kita tahu bahwa tidak semua anggota jemaat/gereja mempunyai selera politik yang seragam. Atau tidak benar kalau dianggap bahwa pilihan sang pendeta dengan sendirinya menjadi pilihan jemaat/gereja pula. Anggota-anggota gereja kita pun sangat tersebar dalam berbagai partai poitik. Maka “memaksakan” pilihan politik sang pendeta kepada jemaat/gereja akan menimbulkan persoalan besar.

Demikian juga kalau sang pendeta memperlihatkan kecenderungan tertentu kepada seorang calon, lalu dianggap sebagai dukungan “resmi” gereja tersebut kepada yang bersangkutan. Ini telah menjadi kenyataan di beberapa tempat. Bakan ada gereja yang terancam pecah karena peristiwa seperti ini.

Konon, pimpinan gereja tersebut secara terang-terangan berpihak kepada calon tertentu dalam pemilihan gubernur. Bahkan untuk memperkuat tuduhan, disertakan “bukti” sang pendeta memakai toga sedang menyalami calon tertentu tadi. Tentu saja hal-hal seperti in belum mengatakan apa-apa. Bisa saja foto sang pendeta berpakaian jabatan itu diambil pada kesempatan lain, lalu dimanipulasi sedemikian rupa demi kepentingan politik yang bersangkutan. Maka memang kehati-hatian sang pemimpin gereja sungguh-sungguh dibutuhkan dalam hal-hal seperti ini.

Kita juga mendengar sekarang ini banyak pimpinan-pimpinan gereja mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Kita tidak tahu motivasi mereka. Apakah sungguh-sungguh ingin memperjuangkan kepentingan bersama, demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kemakmuran, ataukah hanya demi kepentingan pribadi, misalnya untuk memperoleh tambahan penghasilan. Kita salut kepada yang idealis memperjuangkan kepentingan umum itu. Namun hal itu belum berarti bahwa mereka boleh bebas saja mencalonkan diri.

Harus selalu dicamkan bahwa sang pendeta terikat dengan ikrarnya di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya, bahwa ia akan melayani mereka dengan sebaik-baiknya seumur hidupnya sebagai pendeta. Maka jauh lebih lebih baik kalau tugas politik itu diserahkan saja kepada yang lebih ahli di bidang tersebut. Sang Pendeta hanya berkewajiban mempersiapkan yang bersangkutan agar sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan bersama dengan menampilkan cara-cara berpolitik yang beretika dan bermoral.

Saya yakin, orang-orang yang lebih ahli di bidang politik itu masih cukup banyak di dalam lingkungan gereja-gereja kita. Tugas pastoral sang pendeta tidak kurang pentingnya di dalam mempersiapkan dan mendampingi mereka di dalam mereka menjalankan misi politik tersebut. Baru-baru ini di Kupang ada seorang pendeta yang mencalonkan diri menjadi caleg Pusat dari sebuah partai Islam. Ini menimbulkan pertanyaan, bukan saja dari anggota-anggota jemaat, melainkan juga dari (mantan) promotor yang bersangkutan ketika menulis disertasi di sebuah universitas, yang konon sangat buruk dan tidak memenuhi standart akademis yang lazim. Karena itu ditolak. Namun ada tendensi ia mempergunakan gelar akademis tersebut bagi proses pencalonannya. Kalau ini benar, maka sungguh tidak terhormat kedudukan kependetaan di sini.

Pada pihak lain, kalau sang pendeta benar-benar ingin mencalonkan diri, dan ia sangat yakin bahwa kehadirannya di lembaga tersebut sungguh-sungguh akan membawa perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik, maka boleh-boleh saja ia mencalonkan diri. Namun demikian, ia mesti mengambil jarak dari tugas-tugas kependetaannya di dalam jemaat/gereja tersebut untuk seterusnya atau sementara selama ia menjabat tugas sebagai pejabat negara. Ia tidak boleh mempergunakan mimbar sebagai panggung kampanye dirinya atau partainya. Ia harus selalu menyadari bahwa di dalam jemaat ini ada berbagai pilihan politik anggota jemaat.  Kalau pengamblilan jarak itu tidak ada, maka pasti akan menimbulkan gonjang-ganjing, yang bukan tidak mungkin mengarah kepada sebuah situasi yang lebih parah.

Apa Sebaiknya Yang Diperbuat

Dalam uraian di atas sebenarnya apa yang bakal diperbuat sudah disampaikan. Namun demikian, berikut ini saya mau menegaskannya lagi. Menurut saya sebaiknya sang pendeta tidak ikut dalam berpolitik praktis, sejauh masih ada orang-orang yang (dianggap) lebih ahli di situ. Namun kalau sang pendeta merasa bahwa ia sangat diperlukan dalam bidang politik tersebut, maka sebaiknaya ia mengundurkan diri dari tugas-tugas kependetaaannya, baik untuk sementara maupun untuk seterusnya.

Saya kira sikap ini jauh lebih fair, ketimbang main “sembunyi-sembunyian” dengan anggota-anggota jemaat/gereja.

* Penulis adalah Ketua Umum PGI. Dikutip dari satuharapan.com

Related posts