KUPANG, BN — Surat Edaran Wali Kota Kupang, dr. Christian Widodo, tentang pembatasan jam penyelenggaraan pesta di lingkungan masyarakat dan perumahan terus menuai dukungan. Salah satunya datang dari Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana), Prof. Maxs Sanam, yang menilai langkah tersebut sebagai keputusan bijak, visioner, dan berpihak pada ketertiban sosial.
Dalam surat edaran terbaru itu, Wali Kota menetapkan bahwa musik pesta harus berhenti paling lambat pukul 22.00 WITA, dan seluruh kegiatan wajib berakhir pada pukul 24.00 WITA. Aturan ini, tegasnya, bukan untuk mengekang kegembiraan warga, melainkan demi memastikan setiap orang memiliki hak yang sama atas ketenangan dan waktu istirahat.
Prof. Maxs menilai edaran tersebut sejalan dengan karakter Kota Kupang sebagai Kota Kasih, kota yang menjunjung tinggi nilai etika, kepedulian, dan saling menghormati antarwarga.
“Langkah Wali Kota Kupang ini sangat tepat dan patut kita dukung bersama. Ini bukan soal membatasi kegembiraan, tetapi menjaga hak semua warga untuk menikmati lingkungan yang tenang dan damai,” ujarnya kepada Bernas, Minggu (5/10/2025).
Menurutnya, kebisingan pesta hingga larut malam dapat berdampak langsung pada kualitas tidur dan kesehatan warga, terutama anak-anak, lansia, dan pekerja yang harus beraktivitas sejak pagi. Tidur yang cukup, katanya, adalah hak dasar manusia yang perlu dijaga bersama.
Selain menciptakan ketenangan, pembatasan jam pesta juga diyakini dapat menekan potensi gangguan keamanan dan ketertiban. Pesta yang berlangsung hingga dini hari, kata dia, sering menjadi pemicu konsumsi alkohol berlebih, percekcokan, hingga keributan antarwarga.
“Banyak persoalan sosial berawal dari pesta yang tidak terkendali. Ketika orang sudah lelah dan emosi meningkat, apalagi jika ditambah alkohol, maka risiko keributan makin besar. Pembatasan hingga tengah malam justru mencegah hal-hal itu,” tegasnya.
Lebih jauh, Prof. Maxs menilai aturan ini juga menjadi refleksi kedewasaan sosial warga Kota Kupang. Dalam kehidupan bertetangga, setiap orang punya tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan antara hak bersenang-senang dan kewajiban menghormati kenyamanan orang lain.
“Kita bisa bergembira tanpa harus mengganggu hak orang lain. Itulah makna hidup bermasyarakat yang sesungguhnya,” tambahnya.
Meski sempat menimbulkan pro-kontra, Prof. Maxs menilai kebijakan tersebut justru memiliki manfaat sosial yang lebih besar. Ia berharap masyarakat dapat melihat kebijakan ini sebagai upaya mewujudkan Kota Kupang yang tertib, aman, dan harmonis.
“Ini langkah maju menuju Kota Kupang yang lebih beradab, kota yang damai secara sosial, bukan hanya indah secara fisik,” pungkasnya. (*/BN/BT)






