KUPANG, BN — Yayasan Jaringan Peduli Masyarakat (JPM) menggelar Workshop Kesehatan Jiwa Tingkat Provinsi bertema “Menuju NTT yang Sehat Jiwa” di Hotel Harper Kupang, Kamis (11/12/2025). Kegiatan ini menjadi ruang kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat sistem layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas di Nusa Tenggara Timur.
Program kesehatan jiwa JPM saat ini diimplementasikan di Kabupaten Kupang, Manggarai, dan Sikka dengan fokus pada peningkatan layanan inklusif serta penguatan sistem dukungan komunitas. Workshop ini dihadiri OPD terkait, lembaga layanan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan mitra pembangunan.
Direktur JPM, Yohanes Pakereng, dalam sambutannya menegaskan bahwa persoalan kesehatan jiwa di NTT membutuhkan perhatian serius. Berdasarkan data nasional, NTT menempati posisi ketiga tingkat disabilitas psikososial setelah Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
“Dalam dua tahun terakhir, marak terjadi kasus bunuh diri. Ini alarm bahwa orang dengan gangguan jiwa ada di sekitar kita, mungkin bagian dari keluarga kita. Apa yang sudah kita lakukan untuk mengatasinya? Apakah kita membiarkannya tanpa melakukan apa-apa?” tegas Yohanes.
Ia juga menitipkan pesan khusus kepada Pemerintah Provinsi NTT. Saat ini hanya terdapat satu Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di NTT, sementara wilayah Flores mencatat lebih dari 1.000 kasus dan Manggarai sekitar 750 orang dengan disabilitas psikososial.
“Untuk wilayah Flores dan Sumba belum ada RSJ. Kami berharap pemerintah mempertimbangkan pembangunan RSJ di dua wilayah ini serta menambah tenaga psikiater,” ujarnya. Melalui workshop ini, ia berharap tersusun rekomendasi dan langkah strategis penguatan layanan jiwa di NTT.
Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo, memberikan apresiasi kepada JPM atas inisiatif tersebut. Ia menegaskan DPRD siap membuka ruang kolaborasi dan mendampingi program-program terkait kesehatan jiwa.
“Kita harus mendorong lahirnya Perda Kesehatan Jiwa yang inklusif. Program ini harus dikawal mulai dari akar rumput, dan kita harus bergerak bersama,” kata Winston.
Sementara itu, mewakili Gubernur NTT, Asisten I Setda NTT Kanisius Mau menyebut workshop ini sangat strategis karena memperkuat harmonisasi kebijakan lintas sektor. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, NTT berada pada posisi ketiga dengan 9,7 persen penduduk usia di atas lima tahun mengalami disabilitas psikososial, dengan 1.200 kasus tercatat sepanjang 2018–2023.
“Angka ini menjadi alarm sosial bagi kita semua. Diperlukan intervensi serius dan kolaboratif. Kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebelah mata. Pemerintah memastikan layanan harus inklusif dan menjangkau semua lapisan,” ujarnya.
Ia menegaskan, persoalan kesehatan jiwa bukan hanya urusan tenaga medis, tetapi dimulai dari keluarga, komunitas, dan sekolah. Pemerintah, tokoh agama, akademisi, serta seluruh pemangku kepentingan harus mengutamakan unsur kemanusiaan dalam menangani isu kesehatan jiwa.
Seluruh pemangku kepentingan yang hadir melakukan Penandatanganan Komitmen Bersama “Menuju NTT yang Sehat Jiwa”. Komitmen ini menjadi simbol tekad kolektif pemerintah, lembaga masyarakat sipil, akademisi, dan mitra pembangunan untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa yang inklusif, responsif, dan berbasis komunitas di seluruh wilayah NTT. (*/BN)






