JAKARTA, berandanusantara.com – Sebanyak 10 Perupa asal Provinsi NTT, unjuk kemampuan di Taman Ismail Marsuki(TIM) Jakarta. Perupa asal Provinsi NTT ini, unjuk kemampuan kali ini, atas kerja sama Dinas Kebudayaan Provinsi NTT, dengan Pusat Kesenian Jakarta –Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).
Pameran bertajuk “NusaLontar”, di Galeri Cipta III TIM, berlangsung 9-13 Juli 2017 dikuratori oleh Yusuf Susilo Hartono (wartawan budaya dan perupa). Pameran yang akan berlangsung dibuka oleh Tokoh Pers asal NTT yang kini menjabat sebagai
Pemimpin Redaksi Metro TV, Don Bosco Selamun. Dalam kesempatan kali ini akan menampilkan sekitar 40-an karya tahun 2016-2017, berupa lukisan, sketsa, digital painting, hingga instalasi, yang menggunakan berbagai medium.
Dalam Siaran Pers, Yusuf, mengatakan Pameran dengan tajuk NusanLontar menjadi momentum untuk mengajak para perupa NTT untuk melakukan pembacaan potensi dan tantangan NTT hari ini ke depan, melalui alam dan isinya, termasuk kehidupan masa kini, sebagai “kitab suci terbuka”, melengkapi teks kitab suci-Nya.
Walhasil, dengan kebebasan dan kreativitasnya masing-masing, ke-10 perupa, beberapa di antaranya bisa disebut garda depan perupa NTT saat ini, melakukan pembacaan dan pendekatan yang berbeda-beda. Jangan khawatir mereka tidak keluar dari spirit Pancasila, dan tetap cinta
NTT, cinta Indonesia. Bagi Dia, pendekatan kritik sosial digunakan lebih dari satu orang, yaitu oleh Yopie “KNIL” Liliweri dengan karyanya Alea Jacta Est yang mengungkap maraknya kasus perdagangan manusia yang menimpa banyak tenaga kerja asa NTT di negeri tetangga.
Perupa Apri Manu dengan karyanya “Kesunyian” memotret perjuangan hidup si tua nan miskin di tengah kota yang terus menggeliat. Dengan karya tapestry “Wajah”, Pery Patemak melihat kotanya, bahkan negerinya Indonesia terus bersolek, untuk menarik lawan jenis (baca investor) agar mau mengawininya.
Karya Jacky Lau (Oyang) “Murka Pantai # Demi Mimpi”, seperti amuk batinnya atas syahwat pembangunan yang membabi buta telah menghabiskan pantai di kotanya. Lalu menyerahkan semuanya pada penghuni laut. Pendekatan warisan budaya dapat kita lihat pada karya Maryam Mukin “Maluk”, yang mengangkat tradisi pesta adat di kampung Saga Flores Timur dengan sudut pandang religiusitas Islam. Karya Aim Pranamantara “ Tuka Wing (Rahim) “ yang menjunjung tinggi perempuan.
Dalam masyarakat Manggarai, perempuan seperti soko guru bagi sebuah rumah. Karya Fecky Messah “Mendayu Bonet” yang mengambil ide dari salah satu tarian tradisi Timor Dewan, mementingkan persatuan/ persaudaraan. Karya-karya Fecky yang lainpun sangat kental dengan warisan tradisi, yang dimaknai dengan konteks baru.
Perupa asal Malang Tinik Royaniwati yang telah lama menetap di Kupang, menggunakan pendekatan silang budaya Jawa – NTT, antara lain dapat kita lihat pada karyanya “Tandak Kenoto”. Tari penerimaan tamu ini berasal dari daerah Rote, sebagai artefak kultural dua suku bangsa, yang dirawat turun temurun sebagai kekayaan budaya NTT.
Sebaliknya karya Ferry Wabang “Dalam Ikatan Melanesia”. Ferry hendak mengingatkan pada warga NTT bahwa “kita” punya ikatan dengan ras Melanesia, dan oleh karena itu kenapa orang-orang NTT dan Papua, misalnya, punya ciri-ciri yang sama. Di sana juga ada tali emosi yang tidak mudah dipisahkan.
Sedangkan perupa muda Allen Fernandez, dengan karya digital painting berjudul “Login”, menggunakan pendekatan maupun cara eksekusi kontemporer. Menurut Yusuf, selaras dengan pandangan Heidegger, bahwa karya-karya seni ini sebagai siasat untuk memantapkan, bisa juga mengubah persepsi sehari-hari, dan membukakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menafsirkan kenyataan yang ada.
Ia menambahkan, Aristoles mengingatkan kita, bahwa tujuan seni bukanlah untuk menampilkan tampang luar berbagai hal, melainkan makna batinnya.
Mikhael Fernandez semasa menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi NTT, menyatakan dalam sambutan tertulis di katalog bahwa pameran ini merupakan media visual guna memberikan gambaran sosio-kultural daerah NTT yang kaya dengan keindahan alam, keunikan budaya material serta immaterial. Keberagaman budaya yang dituangkan melalui goresan warna di atas kanvas, digital print maupun medium instalasi semoga menjadi sebuah apresiasi estetis bagi pecinta seni di Metropolitan Jakarta. (AM/nl)