JAKARTA, BN — Fraser Institute baru saja merilis laporan Economic Freedom of the World 2025, yang disusun mendiang James Gwartney bersama Robert Lawson dan Ryan Murphy. Center for Market Education (CME), mitra Fraser Institute untuk Malaysia dan Indonesia, menyoroti posisi terbaru Indonesia dalam indeks tersebut.
Indeks ini mengukur sejauh mana masyarakat di 165 negara dan wilayah berdaya mengambil keputusan ekonomi secara mandiri. Secara global, kebebasan ekonomi memang meningkat sejak awal 2000‑an, tetapi sempat tergerus tajam akibat pandemi Covid‑19 yang menghapus kemajuan selama hampir satu dekade.
Dalam rilisan terbaru tahun 2025 (yang meggunakan data dari tahun 2023), Hong Kong masih berada di posisi teratas, disusul Singapura, Selandia Baru, Swiss, Amerika Serikat, Irlandia, Australia dan Taiwan (bersama di peringkat ketujuh), Denmark, serta Belanda. Indonesia sendiri menempati peringkat 65 dengan skor 6,96, naik dua tingkat dari tahun sebelumnya.
Pada 2025, Indonesia menempati peringkat ke‑65 dengan skor 6,96 dari 10. Posisi ini naik dua tingkat dibanding 2023 yang berada di peringkat 67 dengan skor 6,95.
Tantangan yang masih membayangi antara lain:
- Regulasi: Indonesia meraih skor 5,65 dan berada di posisi 128, hanya naik tipis dari 129 pada 2022. Angka ini mencerminkan masih kuatnya hambatan masuk pasar dan aturan ketenagakerjaan yang rumit.
- Sistem Hukum dan Hak Kepemilikan: Dengan skor 4,71, Indonesia bertahan di peringkat 100. Indikator terkait perlindungan hak milik dan kualitas sistem hukum masih rendah.
- Kebebasan Perdagangan Internasional: Skor 7,04 menempatkan Indonesia di posisi 93, sedikit membaik dari 95 pada 2022. Namun, lemahnya perlindungan aset asing, biaya ekspor‑impor yang tinggi, serta kontrol modal yang sangat ketat (hanya 1,54 dari 10) menahan perbaikan lebih jauh.
Di sisi lain, ada keberhasilan yang patut dicatat:
- Ukuran Pemerintah: Indonesia meraih skor 8,40 dan berada di peringkat 9 dunia, naik dari posisi 11 pada 2022.
- Stabilitas Moneter: Dengan skor 8,99, Indonesia berada di peringkat 37 global. Meski turun dari posisi 20 pada 2022, skor ini tetap mencerminkan pertumbuhan suplai uang yang terkendali dan inflasi yang rendah.
“Sesungguhnya, capaian positif dalam ukuran pemerintah dan stabilitas moneter patut diapresiasi karena mencerminkan kemajuan kebijakan. Namun, pencapaian ini harus dijaga di tengah derasnya tren populisme. Hanya dengan disiplin fiskal dan moneter, ketahanan ekonomi dapat diperkuat di tengah ketidakpastian global,” ujar Alvin Desfiandi, Chief Economist CME sekaligus dosen Universitas Prasetiya Mulya, Rabu (8/10/2025).
Alfian Banjaransari, Country Manager CME untuk Indonesia, menambahkan, tabilitas moneter dan ukuran pemerintah yang lebih ramping sebetulnya memberi ruang reformasi.
“Nah, ruang itu harus dimanfaatkan untuk memangkas hambatan regulasi, memperkuat perlindungan investor, serta melonggarkan kontrol modal agar sinyal ekonomi lebih transparan, daya saing meningkat, dan investasi berujung pada penciptaan apangan kerja yang lebih luas,” pungkasnya. (*/BN)






