Ahli Waris Tiga Suku di Flotim Ungkap Kepemilikan Lahan

  • Whatsapp
Ilustrasi
Ilustrasi
Ilustrasi

LARANTUKA, berandanusantara.com – Masyarakat dan ahli waris Suku Fernandez, Da Silva dan Nalele, menuntut agar lahan seluas kurang lebih 15 hektar yang berada di Kelurahan Weri, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kini ditempati oleh Mel Fernandez, Umbu Ratu Djawa dan Frateran BHK, dikembalikan kepada ahli waris. Mereka menilai, sebagian obyek tanah tersebut sudah terjual tanpa melalui proses penyelesaian hak milik.

Pada tahun 1969, oleh Dinas Kehutanan kabupaten Flores Timur yang pada saat itu dikepalai oleh Umbu Ratu Jawa menjadikan obyek sengketa tersebut sebagai lahan percontohan untuk pembibitan dan perkebunan, yang dikerjakan oleh para narapidana Rutan Larantuka atas kesepakatan lisan pemerintah kabupaten Flores Timur dengan masyarakat Kota Sau dan Kota Rowido.

Dalam perjalanan, ahli waris dibuat bingung dengan adanya sertifikat dan penjualan sebagian obyek tanah yang disengketakan oleh Mel Fernandez dan Umbu Ratu Djawa atas lahan tersebut. Padahal sebelumnya ada pengakuan hak milik dan dibarengi ganti rugi oleh ketiganya. Merasa warisan leluhur mereka dirampas, warga Kota Sau dan Kota Rowido mengambil jalur hukum untuk mengembalikan tanah ulayat milik leluhur mereka itu.

Gugatan inipun merupakan kelanjutan dari gugatan pertama ditahun 1983, hingga terakhir pada gugatan ketiga dengan putusan Niet Ontvan (NO) atau putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat terima karena mengandung cacat formil.

“Saya adalah generasi keenam dalam warisan tanah ini. Kami sebagai masyarakat sudah terlalu baik dengan Pemerintah. Kita semua tahu bahwa tanah tersebut dulu dijadikan sebagai lahan percontohan perkebunan dan pembibitan oleh Dinas Kehutanan dimana pak Umbu Ratu Djawa kepala dinasnya.
Tapi kenapa sampai ada sertifikat dan herannya sebagian tanah itu sudah ada yang terjual.Pertanyaan saya siapa yang mengakui sertifikat mereka,apakah keputusan kemarin menyatakan bahwa Mel atau Umbu adalah pemilik sertifikat,” tegas Petrus Musu Fernandez, mewakili tiga suku pemilik lahan.

Petrus menjelaskan, dalam penuturan sejarah kepemilikan lahan seluas 15 hektar itu diperoleh dari suku Langkamau pada masa kerajaan Adobala. Dengan batas tanah ulayat diantaranya ; Pantai Asam Besar, Kepo Putu, Asam Tebelah, Riang Doi, Batu Gong, Sungai Mbelili, Kesambi Mbuti, Leko Mempela, Leko Bulo Kasa, Bunga Lang, Batu Sosa, Wowang Batu, Jawa, Dewa Sembilan, dan Raja Bunga, Belawa Nuhu.

“Mediasi yang dilakukan pada tahun 2008 di Kantor Lurah Sarotari, Mel Fernandez, Umbu Ratu Djawa, perwakilan dari Frateran BHK, mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik orang Kota Sau dan Kota Rowido. Tetapi dalam mediasi dan pengakuan tersebut tanpa ada tanda tangan surat pengakuan yang mengikat,” katanya.

Hadir pada mediasi ditahun 2008, jelas dia, ahli waris Hendrikus Fernandez, Umbu Ratu Djawa, Perwakilan Frateran BHK, Lurah Sarotari Damianus Boli One, Lurah Weri Han Herin, Lurah lewolere Yosep Nanggo Odjan, anggota DPRD Flotim Ben Molo dan maysarakat kota Sau dan kota Rowido.

“Mediasi tahun 2008 mereka mengakui itu adalah tanah ulayat kami, pak Mel Fernandez sendiri yang mengatakan bahwa perkara ini jangan lagi dibawah kemeja hijau.Karena kita ini masih saudara. Tetapi tidak ada tanda tangan pengakuan dalam mediasi itu. Hanya dijanjikan uang sirih pinang tetapi tidak ada sepersen pun sampai sekarang,” ujar Petrus.

Kuasa Hukum ahli waris, Gregorius Senare Duren kepada wartawan mengatakan, langkah hukum untuk menyikapi obyek tanah ini adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan Negeri Larantuka.

“Untuk sidang perdata di Pengadilan Negeri Larantuka dengan gugatan,kami daftarkan hari Jumad (2/9/2016) lalu. Adapun pihak yang kami gugat dengan status ; Frans Lasan Langkamau sebagai turut tergugat pertama, Tonce Odjan turut tergugat dua dan Umbu Ratu Djawa turut tergugat tiga.
Maria Sapora Ola Boleng, Andreas Fernandez, Fransiska Fernandez, Mikhael O.M.F. Leway, Lusia Tuti Populele,Bupati Flotim, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Flotim, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flotim,” terang Gregorius.

Dikatakan, dalam hal pembatalan SK dan sertifikat no 11 atas nama Hendrikus Fernandez, pihaknya akan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Kupang setelah adanya putusan di pengadilan negeri Larantuka berjalan sampai pada putusan tingkat pertama.
Menurutnya, lahan yang disengketakan itu adalah tanah ulayat orang kota Sau dan kota Rowido, dan bukan milik pemerintah seperti yang diutarakan oleh para tergugat. Ia menyayangkan adanya sertifikat kepemilikan sepihak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional tanpa pengakuan dari masyarakat dan ahli waris.

“Coba dicek putusan-keputusan sebelumnya. Apakah didalam putusan itu menyebutkan bahwa saudara Mel Fernandes adalah pemilik sertifikat itu menang perkara, atau Umbu Ratu Djawa berdasarkan sertifikat yang ada itu adalah pemilik sah atas tanah yang disengketakan. Jelas-jelas putusan sebelumnya adalah putusan Niet Ontvan (NO). Jika benar tanah yang disengketa ini adalah tanah pemerintah, mengapa tidak terdaftar diaset Pemda Flotim. Sedangkan SK No 1 tahun 1972 hanya SK pengibahan tanah di Dolog dengan SK pengibahan tanah di Perumahan Batu Ata,” tegas Gregorius. (Ola)

Related posts