AKBP Don Gaspar Mikel da Costa, Putra Noemuti yang Tiga Kali jadi Kepala Humas Misi PBB 

  • Whatsapp
Istimewa
Istimewa
Istimewa

KUPANG, berandanusantara.com – Mungkin banyak dari masyarakat Nusa Tenggara Timur yang tahu nama AKBP Don Mikel da Costa. Meski demikian, masyarakat NTT perlu tahu, bahwa Don, sapaan akrabnya, punya prestasi gemilang di dunia internasional.

Betapa tidak, dia dipercaya sebagai oleh Lembaga Perdamaian Dunia, sebagai Kepala Humas Misi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Bahkan, jabatan itu diembannya sebanyak tiga kali. Jabatan yang cukup bergengsi dan strategis dalam urusan perdamaian dunia.

AKBP Don Mikel da Costa sendiri merupakan putra asli desa Noemuti, kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berikut ulasan media Jawa Pos dalam bentuk feature dalam tugas AKBP Don Mikel da Costa, saat bertugas sebagai Kepala Humas Perdamaian PBB.
———————————————————-

SUDAH tiga hari peperangan itu berlangsung. Belum ada tanda-tanda mereda. Peluru terus berdesingan sampai jauh malam.

Dari balik gundukan bungker karung pasir di Juba, Sudan Selatan, Don Gaspar Mikel da Costa berlindung di salah satu di antara empat kontainer yang ditempati para polisi PBB. Suasana demikian menegangkan. Da Costa mendengar, sudah tujuh rekannya tewas karena peluru nyasar.

Dalam kondisi terkungkung di kontainer, entah siapa yang memulai, dimulailah “stand-up comedy”. Satu per satu rekan sekontainer Da Costa bergantian mengisahkan cerita lucu Semacam eskapisme dari kengerian seperti yang dilakukan Guido Orefice di film Life Is Beautiful (1997).

Da Costa sebagai kepala humas PBB tentu tak mau kalah. Mulailah dia bercerita tentang surat-menyurat seorang narapidana (napi) kepada ayahnya.

Penugasan menegangkan di Juba pada 2016 itu adalah yang ketiga Da Costa menjadi kepala humas polisi PBB. Pria yang kini berpangkat AKBP tersebut polisi Asia pertama yang mendapat kehormatan seperti itu. Kebetulan, dua tugas lain saat dia juga dipercaya sebagai kepala humas pun dijalani di Sudan dan Sudan Selatan. Yang pertama pada 2008-2010, berikutnya 2012-2013, dan terakhir 2016-2017.

“Tugas yang sungguh membanggakan Indonesia. Tentu saya harus menjaga kredibilitas dan reputasi Indonesia di mata dunia,” kata Da Costa yang kini bertugas sebagai analis kebijakan muda Divisi Humas Polri.

Da Costa sudah terlibat dalam tugas-tugas PBB sejak 1998. Pada pertengahan misi itu, istri Da Costa, Debeltha Tallulembang, yang ditinggal tugas saat hamil muda, sudah tiba waktunya untuk melahirkan. Da Costa pun hanya bisa mendengar proses kelahiran anaknya di Jayapura dari sambungan telepon. “Saat itu tidak ada video call,” kenang pria kelahiran 13 April 1971 tersebut.

Ketika akhirnya terdengar suara bayi menangis lantang, barulah dia lega bukan kepalang. Anak pertama yang lahir 28 November 1998 itu pun dia beri nama Don Louis Serbiano Kenenno da Costa.

Tugas di Bosnia berlalu, Da Costa kembali ke Indonesia pada 1999 dan menjadi perwira protokol di staf pribadi Kapolda Irian Jaya (kini Papua). Setahun berikutnya dia dipercaya menjabat Kapolsek Tembagapura. Dia juga mendapat kesempatan mengikuti pendidikan desain keamanan di National Security Institute di New Mexico, Amerika Serikat, pada 2011.

Penugasan pertamanya di Sudan dilakoni Da Costa ketika lulus tes pada Februari 2007. Dari 57 partisipan, dia termasuk 12 yang terpilih dalam United Nations Mission in Sudan (UNMIS). “Saya berangkat ke Sudan menjadi anggota kontingen Garuda Bhayangkara Polri di Sudan,” tambahnya.

Selain melatih polisi Sudan, Da Costa kerap melaksanakan tugas patroli di kawasan pegunungan. Jalanan berbatu dan lumpur harus dihadapi.

Yang lebih mengkhawatirkan saat patroli adalah ranjau. “Kami berusaha tidak melewati jalan yang belum ada bekas kendaraan. Ranjau di mana-mana.”

Pada misi tersebut, persisnya September 2008, Da Costa lulus tes kompetensi dan menjadi kepala humas polisi PBB UNMIS. Menggantikan mantan komandannya, Mayor Rodora Maylas dari Filipina yang banyak membimbing dan meletakkan ilmu kehumasan bagi Da Costa.

Pada Agustus 2009 di Khartoum, ibu kota Sudan, Da Costa juga lulus pendidikan menjadi penguji calon polisi PBB. “Saya gantikan posisi komandan,” ujarnya.

Pergolakan bertahun-tahun di Sudan akhirnya benar-benar membelah negeri itu. Pada Juli 2011 berdirilah Sudan Selatan. Tapi, persoalan tak lantas selesai. PBB pun lalu menerjunkan United Nations Mission in South Sudan (UNMISS). Dan Da Costa kembali terpilih.

“Oktober 2013 saya kembali ke Indonesia,” kata pria yang turut terlibat dalam Operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah, itu.

Tapi, setahun kemudian, PBB kembali menugasinya. Lagi-lagi ke Juba, Sudan Selatan, melalui panggilan luar biasa untuk bertugas sebagai public relations and information advisor hingga 2015.

“Jadi, napi itu mendapat surat dari ayahnya yang sudah tua,” kata Da Costa mengawali cerita, mengenang “stand-up comedy-nya” di hadapan rekan-rekan sekontainer di Juba. Saat peluru berdesing dan kontainer bergoyang tiap kali ada tank menembak.

Sang ayah, lanjut Da Costa, mengeluh tidak lagi kuat mencangkul tanah. Padahal, musim hujan telah tiba. Napi itu lalu membalas surat ayahnya. Isinya, justru melarang ayahnya mencangkul tanah di sekitar rumah. “Ayah, jangan engkau cangkul tanah di samping kanan dan kiri rumah, aku sembunyikan senjata dan amunisi. Jangan pula cangkul tanah di belakang rumah, aku tanam banyak narkotika dalam tanah,” tutur si napi dalam suratnya.

Saat ayah napi itu menerima surat balasan tersebut dan membacanya, ada orang yang mengetuk pintu. “Ternyata yang mengetuk polisi dan tentara. Mereka menggeledah rumah dan mengorek-ngorek tanah dengan cangkul. Semua sisi, kanan kiri dan belakang.”

Sang ayah pun membalas surat anaknya. Menceritakan bagaimana polisi dan tentara mengobrak-abrik tanah di sekitar rumah, tapi tak menemukan apa-apa. “Bagaimana bisa kaubilang menyimpan senjata dan narkotika di sekitar rumah?” tanya sang ayah lewat surat.

Surat itu pun kembali dibalas si anak yang dipenjara. “Ayah, sekarang tinggal kautanami tanah itu yang sudah dicangkul polisi dan serdadu. Hanya dengan itu aku bisa membantu,” kata Da Costa.

Rekan-rekannya sekontainer, seingatnya, pun terbahak mendengar punchline itu. Da Costa pun lega bisa membuat mereka melupakan ketegangan akibat perang. Mungkin sama seperti kelegaan Guido Orefice dalam Life Is Beautiful yang bisa membuat anaknya, Giosue, tak pernah tahu bahwa mereka tengah hidup di kamp Nazi. (*/jawapos.com)

Related posts