SoE, berandanusantara.com – Jeruk keprok asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), memang tidak asing bagi para penikmat jeruk. Rasanya yang sangat manis dan warnanya pun indah menggoda bila dilihat. Keberadaannya bagaikan mutiara yang indah bagi masyarakat setempat.
Sejak tahun 2010, Pemerintah Kabupaten TTS, melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distambun) kembali berusaha mengembangkan jeruk keprok yang sudah menjadi ikon kota dingin ini. Pengembangannya dilakukan di salah satu sentral penghasil jeruk keprok yakni desa Ajaobaki, Kecamatan Mollo Utara, TTS.
Kepala Desa Ajaobaki, Obed Kase berupaya untuk tidak membiarkan jeruk keprok yang ada di wilayahnya punah. Lewat berbagai upaya dan kerja keras, dirinya merangkul masyarakat untuk kembali mengembangkan sebanyak-banyaknya jeruk keprok, sehingga bisa kembali mengharumkan nama TTS sebagai penghasil jeruk berkualitas. Alhasil, upaya yang dilakukannya sejak tahun 2010 lalu kini sudah mulai menampakan hasil, bahkan siap dipanen sekitar bulan juli mendatang.
“Sejak 2010, masyarakat desa Ajaobaki dibantu anakan jeruk sekitar 25.000 pohon. Tanaman jeruk sudah berbuah dan siap panen. Semuanya tersebar di lima kelompok tani di desa Ajaobaki. Hal ini karena adanya kerja sama yang baik anatara masyarakat dan Pemkab TTS melalui Distanbun TTS yang dibimbing, dibina oleh PPL dan Mantri Tani Kecamatan Mollo Utara,” ungkap Obed Kase, Rabu (3/6/2015).
Menurut dia, tanaman jeruk yang dikembangkannya bersama warga setempat sempat terserang hama. Namun, hal tersebut bisa langsung teratasi lewat penanganan serius dari Distambun TTS yang turun langsung ke lokasi. Hama yang menyerang pun langsung bisa dibasmi, dan tanaman jeruk tetap tumbuh normal.
“Informasi yang menyebutkan bahwa bantuan jeruk keprok di desa Ajaobaki tidak bertumbuh, atau mati, informasi itu salah,” katanya
Obed mengaku proses panen jeruk keprok TTS tahun ini sedikit terhambat akibat iklim yang tidak kondusif. Dibanding tahun sebelumnya, kata Obed, sekitar bulan Mei biasanya sudah bisa dipanen. Hasil panen biasanya dipasarkan dengan sistem eceran dengan harga perkilogram Rp 40.000 untuk luar TTS, sementara jika dijual di TTS harganya Rp. 15.000 per kilogram.
Untuk lebih meningkatkan hasil produksi jeruk keprok, Obed meminta Distambun TTS untuk kembali mengalokasikan bibit jeruk kepada dua kelompok di desa Ajaobaki, yang juga telah siap mengembangkannya. Bahkan, luas lahan yang telah disiapkan warga mencapai enam hektar. “Lahan sudah ada, kami hanya tinggal tunggu bibitnya saja,” ujarnya.
Seperti yang disaksikan berandanusantara.com, terlihat di kebun jeruk keprok yang dikembangkan warga sudah mulai menampakan bentuk dan warna orangenya yang indah. Sekitar 25.000 tanaman jeruk keprok siap dipanen dan selanjutnya dipasarkan. (Andyos/Megi)