KUPANG, berandanusantara.com – Bupati Sabu Raijua, Marthen Luther Dira Tome merasa dirinya dikriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, penetapan kembali dirinya sebagai tersangka oleh KPK saat ini melalui sebuah proses yang dinilai salah dan cacat hukum.
Penegasan itu disampaikannya saat ditemui di Mapolda Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (10/11/2016). Saat itu dirinya didampingi belasan Kuasa Hukumnya mendatangi Polda NTT hendak bertemu dengan penyidik KPK untuk mempertanyakan status tersangka yang ditetapkan kepada dirinya.
“Kami minta penjelasan kepada mereka (KPK), kenapa proses hukum ini kembali dilakukan. Tetapi mereka tidak mau bertemu,” katanya.
Menurut Dira Tome, hal ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap dirinya, karena berdasarkan putusan pengadilan sudah sangat jelas bahwa persoalan itu sudah dihentikan secara parmanen. Dan, jelas dia, diperintahkan kepada KPK untuk mengembalikan berkas pemeriksaan yang sebelumnya dipakai.
“Ini sudah sangat jelas merupakan sebuah proses hukum yang salah dan dipertontonkan kepada masyarakat,” tegas dia.
Dia juga menegaskan bahwa proses hukum yang dilakukan terhadap seseorang janganlah atas dasar nafsu, atau keinginan segelintir orang. Tetapi, sebuah proses hukum haruslah ditempuh dengan cara-cara yang tepat dan profesional, sehingga masyarakat pun bisa mendapat pelajaran hukum yang baik.
“Ini sudah sangat jelas ada upaya mencari-cari kesalahan orang lain. Ini sangat berbahaya, dan saya selaku Kepala Daerah juga butuh kenyamanan dalam bekerja. Saya juga butuh perlindungan hukum sebagai warga negara,” ujar Dira Tome.
Sementara salah satu Kuasa Hukum, Jhon Rihi bahkan menduga ada sesuatu yang disembunyikan oleh tim KPK di Mapolda NTT yang diketuai Kombes Pol Hendrik Natalus Christian, dalam penetapan tersangka terhadap Kliennya Marthen Dira Tome.
“Secara hukum, tersangka berhal mempertanyakan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Dan penyidik berkewajiban untuk menjelaskan itu. Dan buktinya, hari ini mereka tidak mau bertemu,” jelas dia.
Dia menjelaskan, berdasarkan surat panggilan yang dilayangkan kepada para saksi berdasarkan laporan polisi tanggal 18 Oktober 2016. Sementara penetapan tersangka terhadap Kliennya tanggal 31 Oktober 2016. Sementara, jelas dia, dalam durasi tanggal 18 sampai 31 Oktober tidak ada satu saksi pun yang diperiksa.
Senada dengan Dira Tome, Jhon Rihi juga menegaskan kalau apa yang dilakukan oleh KPK sudah sangat salah dan cacat hukum. “Saya ragu, jangan-jangan ini merupakan inisiatif pribadi dan bukan merupakan perintah lembaga untuk mencari-cari kesalahan orang,” tegas dia.
Dia menegaskan, bersama tim Kuasa Hukum akan segera menemui Komisioner KPK untuk mempertanyakan persoalan tersebut. Dirinya bahkan menantang KPK untuk melakukan dialog secara terbuka bersama DPR RI dan sejumlah pihak untuk membedah kasus yang dituduhkan kepada kliennya itu.
“Kalau bisa ini dibuat dalam dialog terbuka, supaya masyarakat bisa tahu juga persoalan yang sebenarnya,” pungkas Rihi. (AM)