KUPANG, BN – Masyarakat adat Pulau Kera secara tegas menolak rencana relokasi warga dan pembangunan 20 villa oleh PT Pitoby Grup di atas tanah adat yang telah mereka huni sejak tahun 1884.
Perwakilan masyarakat adat Pulau Kera yakni Abdullah Sapar-Dethan, Arsyad Abdul Latif, Muhamad Syukur, Hamdan Saba dan Derman Sindrang dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025), menyatakan bahwa proyek pembangunan tersebut dilakukan tanpa musyawarah, partisipasi, maupun persetujuan dari warga setempat.
Pulau Kera, sebuah pulau kecil di Kelurahan Sulamu, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, disebut sebagai wilayah adat yang pertama kali dihuni oleh almarhum Jumila dari suku Bajo. Garis keturunan dan silsilah leluhur yang kuat menjadi dasar klaim hak adat atas tanah di pulau tersebut.
Hamdan Saba ketika menyampaikan pernyataan sikap menyatakan siap mempertahankan tanah leluhur mereka “sampai mati” dari segala bentuk penggusuran dan pembangunan yang mereka anggap merusak budaya dan tatanan sosial masyarakat Pulau Kera.
“Pembangunan apapun tidak boleh memutus akar sosial budaya masyarakat di Pulau Kera,” tegas Hamdan Saba.
Menurutnya, pembangunan villa oleh PT Pitoby Grup, bekerja sama dengan PT Kuatra, telah dimulai sejak akhir April 2025 tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga.
Ia menilai tindakan tersebut tidak hanya melanggar hak adat, tetapi juga telah merusak situs-situs penting seperti makam tua leluhur mereka.
Ada 8 tuntutan utama kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait, diantaranya:
1. Penghentian total pembangunan villa oleh PT Pitoby Grup.
2. Pengakuan resmi negara terhadap hak-hak masyarakat adat Pulau Kera.
3. Penolakan terhadap segala bentuk relokasi paksa.
4. Fasilitasi pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat lokal.
5. Pelaksanaan program sertifikasi tanah (PRONA).
6. Evaluasi dan penghentian tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah daerah.
7. Penyelidikan dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pembangunan.
8. Penyediaan kebutuhan dasar seperti air bersih, pendidikan, kesehatan, listrik, dan dermaga.
Mereka juga meminta agar proses dialog diselenggarakan secara terbuka dan difasilitasi oleh lembaga independen seperti Komnas HAM, guna menghindari konflik horisontal dan memastikan keadilan bagi masyarakat adat Pulau Kera.
“Pemerintah seharusnya melindungi, bukan menggusur kami. Kami bukan warga ilegal, kami adalah warga negara Indonesia yang sah, punya RT, RW, dan ikut pemilu,” tegasnya. (*/BN)