Istimewa

Pendidikan

Penggunaan Bahasa Ibu Bawa Peluang Tingkatkan Kualitas Belajar Siswa Kelas Awal

By Beranda Nusantara

February 25, 2021

Istimewa

KUPANG, berandanusantara.com – Pengunaan bahasa ibu sebagai bahasa transisi menjadi isu utama yang diangkat dalam Temu Inovasi I tahun 2021. Momentum ini juga bertepatan dengan peringatan Hari Bahasa Ibu internasional tepat pada tanggal 21 Februari 2021.

Direktur Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), Mark Heyward dalam acara Temu Inovasi tahun 2021 yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (24/2/2021), mengatakan isu yang diangkat merupakan peluang yang sangat tepat. Penggunaan bahasa Ibu sebagai bahasa transisi dalam pembelajaran dapat membawa peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya di kelas awal.

“Kami tahu bahwa anak-anak yang pakai bahasa di rumah sehari hari, bisa mendapat kesulitan di kelas, apalagi ketika anak-anak masuk sekolah dan belum bisa bahasa Indonesia,” jelas Mark.

Dijelaskan, hasil program rintisan yang digagas INOVASi bekerja sama dengan sejumlah yayasan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti Yayasan Surinama dan Yayasan Suluh Intan Lestari di kabupaten Sumba Barat Daya dan kabupaten Sumba Timur bahwa dengan penggunaan bahasa ibu terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Studi yang dilakukan Program INOVASI pada tahun 2019 di Indonesia pada 4 provinsi, termasuk NTT secara konsisten menunjukan hasil belajar siswa kelas awal yang menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah lebih rendah dengan siswa yang menggunakan Bahasa Indonesia. Artinya, kalau anak-anak masuk ke sekolah tidak bisa bahasa Indonesia, berarti tidak bisa belajar dengan baik.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 mencatat hanya 20 persen populasi penduduk di Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, atau lebih dari 16 juta orang yang tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia. 20 persen diantaranya adalah anak-anak umur 5—9 tahun.

“Jadi kalau Bahasa Indonesia dipakai di kelas awal untuk anak-anak yang belum fasih Bahasa Indonesia, mereka pasti bingung dan tidak bisa belajar dengan baik,” ujar Mark.

Sebagai program yang fokus terhadap literasi, numerasi dan inklusi, Program Inovasi merasa sangat penting untuk turut memastikan bahwa pendidikan adalah untuk semua anak dan jangan sampai ada anak tertinggal, anak tereklusi, anak tidak dapat kesempatan sama dengan anak yang lain, baik karena anak-anak berkebutuhan khusus (disabilitas), faktor gender, sosial dan perbedaan bahasa.

Program INOVASI juga memastikan bahwa guru-guru juga punya kapasitas dalam mengajar anak-anak dengan bahasa ibu sebagai bahasa transisi pebelajaran. Selain itu, pengembangan kapasitas guru berbasi Kelompok Kerja Guru (KKG) adalah salah satu cara yang telah membawa hasil akan terus dikembangkan oleh Program INOVASI. Selain itu, ketersediaan buku bacaan dalam Bahasa ibu juga menjadi hal yang sangat penting. Mark Heywer mengapresiasi kepada Badan Bahasa yang ikut mendukung dan menggaungkan bahasa ibu sebagai pendekatan dalam pembelajaran siswa kelas awal.

“Saya berharap, cara ini bisa berguna untuk semua. dan besar harapan saya pemerintah provinsi maupun di tingkat kabupaten melalui kemitraan bersama di tingkat pusat, kita dapat mendukung pembelajaran yang berarrti dan efektif bagi semua anak di NTT dan Indonesia,” tandasnya.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, E. Aminudin Aziz mengatakan bahasa terutama bahasa ibu dipandang sebagai satu faktor yang instrumental dalam menentukan berhasil dan tidaknya sebuah program pendidikan. Menurutnya, Ada 72 bahasa daerah yang saat ini telah dipetakan di provinsi Nusa Tenggara Timur, dan mungkin akan lebih banyak lagi dari jumlah tersebut.

Dari semua bahasa itu, E. Aminudin meyakini bahasa tersebut menjadi bahasa ibu masyarakat di wilayah NTT. “Memang benar bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah. Bahasa ibu merujuk pada bahasa yang pertama kali diperoleh seseorang pada saat dia dibesarkan dan digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan keluarganya,” jelasnya.

E. Aminudin menjelaskan, perubahan format pendidikan, terutama penggunaan bahasa pengantar terjadi ketika ada formalisasi pendidikan yang kemudian mengatur kurikulum pembelajaran misalnya mengatur jenis mata pelajaran, isi mata pelajaran, kualifikasi guru, fasilitas dan hal lain yang sifatnya formal.

Khusus untuk penggunaan bahasa pengantar, hal ini menjadi isu ketika diberlakukannya sistem pendidikan nasional di sebuah negara. isu paling mendasarnya adalah manakala bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa yang tidak sama atau tidak menjadi bahasa sehari-hari para siswa. Bahasa mestinya menjadi media untuk menyampaikan ilmu pengetahuan melalui pembahasan topik-topik secara mendalam. Dengan bahasa itu para murid menjadi terasa pikirannya justru kemudian bahasa itu dijadikan mata pelajaran.

“Tentu saja status sebagai mata pelajaran, maka bahasa akan dipelajari seperti mata-mata pelajaran lain dan diajarkan sebagaimana mata pelajaran. di sinilah terjadi keasalahan proses pembelajaran terhadap bahasa, yakni melakukan formalisasi secara struktural dalam mengajarkan bahasa, yang semesti diajarkan kepada penguasan bahasa sebagai alat untuk mengkomukasikan substansi pikiran dan perasaan. dan ini berubah menjadi pengetahuan,” jelas E. Aminudin.

Sejumlah penelitian tentang penggunaan bahasa ibu terhadap perkembangan siswa yang dilakukan di berbagai belahan dunia, menurut E. Aminudin bisa ditarik kesimpulan bahwa bahasa ibu sangat berkontribusi positif terhadap pencapaian target atau hasil belajar siswa.

“Kita bisa membaca hasil atau laporan yang disampaikan oleh UNESCO setelah melakukan penelitian di berbagai negara. Unesco kemudian mengkampanyekan penggunaan bahasa ibu untuk kegiatan pembelajaran di kelas awal,” jelasnya.

Anjuran UNESCO ini tentu beralasan, karena siswa di kelas awal akan mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran apabila disampaikan dengan bahasa ibu yang dimengerti olehnya. meski demikian, menurut E. Aminudin, penerapannya tidaklah mudah, apalagi dengan kondisi keragaman bahasa yang sangat tinggi di Indonesia.

“Kalau di daerah perkotaan mungkin sulit, tapi di daerah pedesaan cara seperti ini bisa menjadi jalan keluar untuk meningkatkan hasil pembelajaran itu,” pungkasnya.

Temu INOVASI tahun 2021 ini juga menghadirkan berbagai pihak diantaranya; Asisten I Setda Provinsi NTT, Benyamin Lola, Ketua Komite Nasional indonesia untuk UNESCO, Rektor Universitas Yarsi Prof. Fasli Jalal, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Linus Lusi, Kepala Kantor Bahasa NTT, Syaiful Basri Lubis, serta Manajer Program INOVASI NTT, Hironimus Sugi.

Selain itu, dihadirkan pula sejumlah Guru Sekolah Dasar (SD) binaan Program INOVASI di Pulau Sumba, para Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan se-Pulau Sumba, serta para mitra INOVASI. Yang menjadi moderator dalam kegiatan tersebut yakni Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Biro Ekonomi dan Kerja Sama Setda NTT, Selfi Nange dan News Anchor Metro TV Marvin Sulistio. (*AM/BN)