KUPANG, BN – Ada yang menarik dari Exellent Spirit Christian School (ESCS) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski masih berusia dini, namun para siswanya telah belajar tentang diplomasi internasional.
Para pengajar membuat konsep rapat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan pesertanya adalah anak-anak kelas kelas 7, 8 dan 9 atau setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Simulasi sidang PBB berlangsung di aula ESCS Kupang, Kamis (26/10/2023) siang.
Sebanyak 17 siswa yang menjadi peserta rapat mengenakan jas dan dasi ala Diplomat. Mereka menempati posisi pada tempat duduk yang didesain seperti ruang sidang lengkap dengan bendera dan papan nama negara.
Saat sidang dibuka tepat pukul 14.00 Wita oleh pimpinan sidang, para siswa yang bertindak sebagai delegasi negara masing-masing dipersilahkan menyampaikan berbagai gagasan serta isu yang penting untuk ditindaklanjuti, dengan menggunakan bahasa Inggris.
Menariknya lagi, simulasi sidang ini pun diberi kesempatan kepada delegasi untuk melakukan sanggahan terhadap pandangan delegasi negara lain hingga berdebat, sampai pada lobi dan pada akhirnya tahap pengambilan keputusan.
Person in Charge (PIC) kegiatan, Maria Regina Kelen Toby mengatakan, Simulasi Sidang PBB yang digelar ESCS Kupang adalah dalam rangka memperingati Hari United Nation atau Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
“ESCS Kupang selalu merayakan Hari United Nation dan biasa berdoa untuk pemimpin dunia dan masalah yang ada di negara,” ujar Regina Kelen.
Menurut Regina, kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang cara kerja PBB dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan.
“Jadi kami inisiatif merubah cara kami merayakan Hari United Nation dengan membuat simulasi rapat PBB, supaya para siswa mengerti bahwa aturan yang dikeluarkan PBB itu ada caranya,” ungkapnya.
Regina menjelaskan, dalam sidang simulasi PBB, mereka memilih dua isu besar untuk dibahas, yaitu kesetaraan gender dan kualitas pendidikan.
“PBB kan ada banyak lini yang dibawahi. Jadi kami pilih yang paling marak terjadi, yaitu kesetaraan gender dan kualitas pendidikan,” jelasnya.
Meski kegiatan ini pertama kali dilakukan, kata dia, para siswa dibantu oleh guru atau pendamping mereka dalam membuat opening speech dan position paper.
“Jadi anak-anak sudah didesain dengan teacher untuk bantu mereka membuat opening speech dan position paper,” ungkap Regina.
Regina berharap dengan adanya kegiatan simulasi sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), para siswa bisa memahami sistem kerja dari PBB.
“Harapannya semoga anak-anak lebih paham bahwa PBB itu sistem kerjanya bagaimana, dan bisa menginspirasi sekolah lain untuk melakukan hal serupa,” terangnya.
Selain itu, kata Regina, kegiatan ini juga membantu siswa mengembangkan keterampilan untuk berpikir kritis, berbicara di depan umum, serta berdiskusi dan mengemukakan pendapat.
“Jadi kami rasa ini hal yang sangat positif dilakukan untuk anak-anak, baik di tingkat SD SMP dan SMA,” pungkas Regina.
Student Body President, Hanna Lie Djauw menjelaskan, melalui kegiatan ini, mereka bisa meningkatkan public speaking dan kepercayaan diri melakukan riset untuk masa depan mereka.
“Saya ingin belajar meningkatkan kepercayaan diri kami, dan saya percaya melalui kegiatan ini kami dapat belajar perspektif negara lain,” jelasnya.
Hanna, yang mengambil peran sebagai wakil Saudi Arabia memfokuskan perhatian pada isu kesetaraan gender di negaranya.
“Saya perwakilan dari Saudi Arabia, dan masalah yang saya ambil adalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan,” ungkapnya.
Menurut Hanna, persoalan besar yang muncul di Saudi Arabia adalah dimana kaum perempuan tidak diberikan proporsi yang sama untuk mengaktualisasikan diri mereka.
Sedangkan laki-laki diberi kebebasan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan non domestik seperti pengacara, alih konstruksi dan lain sebagainya.
“Sehingga saya percaya bahwa perempuan seharusnya bisa mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki,” tandasnya. (*/BN)