KUPANG, BN – Harapan Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan impor garam mendapat respon nyata dari mantan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome. Ia menginisiasi pengiriman ribuan ton garam curah dari Kabupaten Sabu Raijua ke Surabaya, Jawa Timur, sebagai bagian dari upaya mendukung program swasembada garam nasional.
Presiden Prabowo sebelumnya menegaskan komitmennya untuk menghentikan impor garam dan telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional. Merespons kebijakan itu, Marthen menilai langkah tersebut sebagai peluang kebangkitan ekonomi daerah.
“Apa yang diharapkan Presiden adalah peluang untuk membangkitkan ekonomi lokal. Perpres sudah keluar, maka kebutuhan garam nasional harus bisa dipenuhi oleh tambak-tambak dalam negeri,” ujar Marthen, Sabtu (2/8/2025).
Ia menjelaskan, sebagian besar wilayah di NTT, termasuk Sabu Raijua, beriklim semi arid dengan musim kemarau panjang merupakan kondisi ideal untuk produksi garam. Tambak garam yang dikelola PT Nataga Raihawu Industri (NRI) menggunakan teknologi geomembran menghasilkan garam bersih berkualitas tinggi, dengan kadar NaCl mencapai 98%. Dalam kondisi optimal, produksi garam bisa mencapai 60 ton per hektare per bulan.
“Selama lebih dari dua tahun, PT NRI telah memproduksi puluhan ribu ton garam curah. Dan pada 30 Juli 2025, untuk pertama kalinya dalam sejarah Sabu Raijua, kapal kargo Ngada Sejahtera mengangkut penuh garam Nataga menuju Surabaya,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar angka produksi, Marthen menyoroti dampak ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Aktivitas tambak garam turut menggerakkan ekonomi lokal—dari pekerja tambak, sopir, buruh pelabuhan, hingga pedagang kecil di sekitar lokasi tambak dan dermaga.
“Tambak garam menciptakan efek domino yang positif. Banyak orang mendapat penghasilan, dari buruh bagasi, kondektur, sopir, hingga pedagang kecil di pinggir dermaga. Ini bukan sekadar bisnis, tapi gerakan ekonomi rakyat,” ujarnya.
Marthen menyebut pembangunan tambak garam bukan hanya soal penyediaan lapangan kerja, tapi juga bentuk kecintaan pada NTT dan kehidupan masyarakat di dalamnya.
“Tambak garam bukan sekadar mimpi. Ini adalah kristal putih yang nyata, yang telah menghidupi ratusan orang. Semakin luas tambak, semakin banyak orang bisa hidup dari mata rantai ekonominya,” jelasnya.
Ia juga menyinggung pandangan sebagian orang yang menganggap musim kemarau sebagai bencana. Namun menurutnya, panas ekstrem di Sabu Raijua justru adalah anugerah Tuhan yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan garam.
“Kalau pemerintah melihat kemarau sebagai bencana, kami justru melihatnya sebagai berkat. Panas menyengat adalah kekuatan utama dalam produksi garam. Ini anugerah Tuhan yang harus dimanfaatkan,” tandasnya.
Tambak garam di Sabu Raijua sendiri sudah mulai dirintis sejak 2013, namun sempat terbengkalai dan rusak akibat badai Seroja. Baru sejak 2023, PT NRI kembali membangun tambak seluas 42 hektare.
Namun, Marthen mengakui tidak semua pihak mendukung. Dalam suasana politik, muncul berbagai tudingan negatif, mulai dari isu perampasan lahan, perusakan lingkungan, hingga tidak memberi kontribusi ke PAD.
“Banyak tudingan yang dilempar, tapi kami memilih tidak menanggapi karena kami sibuk bekerja. Biarlah hasil kerja yang menjawab semuanya. Dalam dua tahun lebih, kami telah memproduksi dan mengirim puluhan ribu ton garam ke Jawa,” pungkas Marthen. (*/BN/SN)