JAKARTA – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi meninggalkan Lapas Sukamiskin pada Jumat, 16 Agustus 2025. Ia bebas lebih cepat setelah hukuman kasus korupsi e-KTP bernilai triliunan rupiah dipangkas Mahkamah Agung dan mendapat sejumlah remisi.
Namun kebebasan itu bukan tanpa ikatan. Ia berstatus bebas bersyarat. Selama empat tahun ke depan, hingga April 2029, Setnov wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan sebulan sekali. Bila lalai, status kebebasannya bisa dicabut, dan pintu Sukamiskin siap menutup kembali di belakang punggungnya.
Kebebasan dini Setnov bermula dari putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada Juni lalu. Vonis 15 tahun penjara dipangkas menjadi 12 tahun 6 bulan. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp49 miliar.
Putusan itu menuai kritik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung soal pentingnya efek jera dalam kasus korupsi kelas kakap. Publik pun menggeleng, bertanya-tanya apakah hukuman bisa kembali ditawar-tawar.
Sejak 29 Mei 2025, secara hukum, Setnov sudah berhak bebas bersyarat. Namun secara administratif, pintu lapas baru benar-benar terbuka untuknya pertengahan Agustus.
Di balik kebebasan itu, ada deretan remisi yang ia kantongi: Idul Fitri, HUT RI, hingga remisi khusus. Total pengurangannya sekitar lima hingga enam bulan. Tambahan potongan dari MA menjadikan masa hukumannya kian singkat. Dari vonis yang seharusnya berakhir 2033, kini ia diperkirakan bebas murni pada 2029.
Meski kembali ke masyarakat, jalan Setnov ke panggung politik masih tertutup rapat. Putusan pengadilan mencabut hak politiknya hingga lima tahun setelah masa pidana berakhir. Artinya, paling cepat ia baru bisa kembali aktif secara politik pada 2034.
Dengan usia yang kini menapak 67 tahun, peluangnya untuk kembali ke kursi kekuasaan makin tipis. Namun, di republik ini, sejarah kerap mencatat comeback politikus senior yang tak terduga.
Pembebasan bersyarat Setnov menyingkap celah dalam sistem hukum: terpidana korupsi besar tetap bisa pulang lebih cepat, asal memenuhi syarat administratif. Pemerintah berdalih, aturan berlaku untuk semua napi. Tapi publik bertanya, mengapa kasus-kasus korupsi kelas kakap kerap berakhir dengan pemotongan hukuman, remisi, hingga pembebasan bersyarat?
Aktivis antikorupsi mengingatkan, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan kejahatan luar biasa yang merampas hak publik. Bila efek jeranya tak terasa, hukum hanya tampak sebagai pintu berlapis, mudah dibuka bagi mereka yang punya akses.
Kini, Setnov bisa menikmati udara luar, bertemu keluarga, dan berjalan di luar tembok Sukamiskin. Namun, kebebasannya masih diikat laporan bulanan dan ancaman pencabutan bersyarat. Ia merdeka, tapi merdeka bersyarat. (*/BN/berbagai sumber)