KUPANG, BN – Gereja Katolik Stasi St. Petrus Manulai II merayakan tonggak sejarah penting dalam perjalanan imannya dengan perayaan 25 tahun berdirinya stasi ini, yang dirangkaikan dengan Misa Hari Raya Tritunggal Mahakudus dan acara temu pisah Co Pastor, Minggu (15/6/2025).
Perayaan 25 tahun berdirinya Stasi ini didahului dengan misa syukur yang dipimpin langsung oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Hironimus Pakaenoni, Pr, dan dihadiri ribuan umat serta tokoh masyarakat.
Perayaan ini bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi momen reflektif bagi seluruh umat atas perjalanan panjang stasi yang dimulai dari komunitas kecil, hingga kini tumbuh menjadi persekutuan iman yang hidup dan berdampak.
Dalam sambutannya, Mgr. Hironimus menekankan bahwa apa yang telah dicapai oleh umat Stasi St. Petrus Manulai II selama 25 tahun ini bukan semata karena kemampuan manusia, melainkan karena kasih dan rahmat Allah.
“Hari ini kita bersyukur atas rahmat istimewa yang kita alami sebagai satu persekutuan umat beriman. Ini bukan semata-mata kekuatan dan kelebihan manusia, tetapi semuanya merupakan berkat dan rahmat dari Allah Tritunggal Maha Kudus,” ujar Mgr. Hironimus.
Ia menjelaskan bahwa gereja bukan dibangun dari keseragaman, melainkan dari keberagaman yang disatukan dalam cinta.
“Allah telah memanggil kita dari berbagai penjuru, dengan latar belakang berbeda, lalu membentuk satu persekutuan. Itulah hakekat gereja: persekutuan kasih yang bersumber dari Allah Tritunggal,” tambahnya.
Uskup juga mengajak umat untuk terus merawat semangat kebersamaan dan memperkuat relasi antara gereja dan masyarakat.
“Kehadiran para tokoh dan pemerintah hari ini menjadi indikator bahwa hubungan antara gereja dan masyarakat selama ini dibangun secara harmonis dan kolaboratif, demi kebaikan bersama,” tandasnya.
Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Timur yang turut hadir dalam perayaan ini menyampaikan apresiasinya atas perjuangan umat Stasi Manulai II yang dinilainya inspiratif dan patut diteladani.
“Membaca dan mendengar kisah awal berdirinya Gereja ini seperti membuka album kenangan yang penuh pilu, tetapi juga penuh semangat dan harapan,” ujarnya.
Ia mengisahkan bahwa perjalanan stasi ini dimulai dari Kelompok Umat Basis (KUB) Santa Petra tahun 1997 dengan hanya 23 Kepala Keluarga (KK), dan kini tumbuh menjadi komunitas yang hidup dengan 11 KUB dan lebih dari 1.400 umat.
“Mulai dari misa di teras rumah, kapela darurat yang lapuk, hingga umat bergotong-royong mengangkut batu dan pasir—kisah ini bukan hanya soal fisik, tetapi kisah iman dan ketekunan,” tegasnya.
Sebagai pemerintah, lanjutnya, mereka melihat gereja sebagai mitra moral dan sosial.
“Gereja Stasi ini menunjukkan bahwa iman bisa mengubah wajah masyarakat. OMK yang kreatif, WKRI yang setia, misdinar dan Sekami yang jadi harapan masa depan—semua jadi bukti gereja ini hidup,” pungkasnya.
Ketua Panitia Perayaan 25 Tahun, Vincent Mone, dalam sambutannya menegaskan bahwa momen ini bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi untuk meneguhkan komitmen pelayanan ke depan.
“Tema besar kita adalah Bersyukur, Bertumbuh, dan Menjadi Berkat. Ini bukan sekadar slogan, tetapi refleksi dari perjalanan panjang stasi kita selama 25 tahun,” kata Vincent di hadapan Uskup, para imam, dan umat.
Ia menekankan bahwa syukur yang sejati harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif dan pelayanan yang berkelanjutan.
“Kita bersyukur karena di tengah tantangan ekonomi, sosial, budaya, Tuhan tetap pelihara stasi ini. Tapi syukur itu mendorong kita untuk tidak berhenti melayani,” tambahnya.
Menurut Vincent, pertumbuhan stasi tidak cukup diukur dari jumlah umat atau fisik bangunan, tetapi dari kualitas iman dan kasih antarumat.
“Menjadi berkat itu bukan sekadar memberi, tapi menjadi pribadi yang membawa damai, keluarga yang saling mengasihi, dan umat yang peduli pada yang kecil dan tersisih,” ucapnya penuh semangat.
Vincent juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, termasuk Uskup, para imam, panitia, donatur, dan umat.
“Perayaan ini adalah buah kerja sama kita semua. Semoga menjadi motivasi untuk terus melayani dan mewariskan semangat ini ke generasi berikut,” katanya, lalu menutup dengan pantun kenangan: “Dulu misa di teras rumah, kini di gereja yang megah dan ramah. Umat dulu hanya segelintir, kini jadi komunitas yang tak lagi terusir.”
Usai misa, umat mengikuti resepsi sederhana namun penuh sukacita. Paduan suara, tarian daerah, hingga kidung pujian dari kelompok kategorial turut menyemarakkan acara. (*/BN)