Ketika Kucing, Merpati dan Ikan pun Masuk Kelas

  • Whatsapp
Para siswa kelas IV MIN Balikpapan mengamati kucing dan bertukar ide gagasan tentang bagian-bagian tubuh dan fungsinya. (Ist)

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan MIKIR atau Mengalami, Interaksi, Komunikasi dan Refleksi telah dikenalkan oleh program PINTAR Tanoto Foundation. Program yang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kemenag ini mencoba memasukkan unsur-unsur soft skill yang amat penting dimiliki murid agar bisa menghadapi era industry 4.0 yaitu kemampuan berpikir kritis, berkreasi, berkomunikasi, berkolaborasi dan tampil percaya diri. Nah bagaimanakah pelaksanaannya di kelas? Akan tergambar sedikit dalam pembelajaran yang dilakukan ibu Wiwik Kustinaningsih, Guru kelas IV MIN 1 Balikpapan.

Para siswa  kelas IV MIN Balikpapan mengamati kucing dan bertukar ide gagasan tentang bagian-bagian tubuh dan fungsinya. (Ist)
Para siswa kelas IV MIN Balikpapan mengamati kucing dan bertukar ide gagasan tentang bagian-bagian tubuh dan fungsinya. (Ist)

BALIKPAPAN, berandanusantara.com – Biasanya kalau mengajar tentang hewan dan fungsi-fungsi tubuhnya, ibu Wiwik Kustinaningsih cuma pakai buku paket, atau media-media gambar saja.

Read More

Namun setelah ikut pelatihan di Tanoto Foundation, ia memiliki ide yang baru. Ia ingin pembelajarannya untuk kelas 1V yang diasuhnya jadi benar-benar kontekstual dan sangat menyenangkan. Ia ingin anak-anak langsung mengobservasi objeknya.

“Untuk itu, saya berpesan pada siswa saya agar waktu pelajaran tentang hewan dan fungsi tubuhnya, mereka membawa secara berkelompok hewan yang mereka pilih,” ujarnya.

Ternyata 5 kelompok siswa membawa hewan yang berbeda-beda. Ada yang masih hidup dan ada yang sudah mati. Yang masih hidup seperti kucing, dan burung, dan yang mati seperti ikan bandeng, ikan tongkol dan udang.

Namun agar tumbuh literasi siswa sebelum siswa melakukan pengamatan langsung hewan yang dibawa, mereka diminta membaca terdahulu tentang topik pembelajaran hari itu. “Setelah membaca dan diskusi untuk mengerti garis besarnya, saya minta mereka mengamati secara berkolompok hewan yang mereka bawa dan menuliskan pada lembar kerja tugas hari itu yaitu menyebutkan bagian-bagian tubuh dan fungsinya,” ujarnya menerangkan.

Ternyata siswa sangat antusias mengerjakan tugas tersebut. “Sangat jauh bedanya kalau kita cuma belajar pakai buku paket. Mereka menulis, berdiskusi dan berbagi ide. Mereka menjadi belajar untuk terlibat diskusi ilmiah yang kreatif, ” ujar bu Wiwik

Dika, salah seorang anggota kelompok hewan kucing menyatakan kesenangannya belajar dengan cara demikian “Belum pernah pembelajaran seperti ini. Kami membawa kucing, hewan yang begitu kami sukai, untuk kami teliti langsung. Kami sambil belajar bisa mengelus-elusnya agar tetap kucingnya senang bersama kami. Saya senang sekali belajar hari ini,” ujarnya

Untuk menumbuhkan soft skill kemampuan berkomunikasi dan percaya diri, Setelah selesai mengerjakan tugas, Bu Wiwik meminta perkelompok mempresentasikan hasilnya kepada kelompok lain. Siswa juga antusias memberikan feed back dan berdiskusi.

“Salah satu keuntungan membawa hewan ke kelas ini adalah siswa menemukan sendiri berbagai macam bagian-bagian tubuh hewan yang berbeda dengan fungsi-fungsi yang berbeda pula. Insang pada ikan, ekor berbulu pada kucing, bulu-bulu pada merpati dan lain-lain sehingga memperkaya pengetahuan mereka,” ujar bu Wiwik

Untuk menguatkan apa yang sudah ditemukan, sebagai kesimpulan bu Wiwik bersama-sama siswa menyebutkan kembali beberapa bagian tubuh dan fungsi-fungsinya secara bersama-sama.

Menurut bu Wiwik ternyata pembelajaran secara kontekstual tersebut sangat menarik. Anak-anak yang dulu beberapanya kurang antusias belajar, kelihatan benar-benar terlibat aktif dalam pembelajaran.

“Kami memiliki group whats app dengan orang tua siswa. Salah satu orang tua selama ini melihat anaknya sangat pemalu, dan kurang percaya diri. Ketika saya kirim foto-foto aktifitas kelompok yang memperlihatkan dia terlibat aktif dalam pembelajaran, dia sangat gembira melihat anaknya jadi pemberani dan terlibat,” ujarnya.

Menurut Khundori, Spesialis Pembelajaran Sekolah Dasar Tanoto Kaltim, Pembelajaran model MIKIR yang dilakukan oleh bu Wiwik perlahan bisa menumbuhkan beberapa soft skill yang amat dibutuhkan untuk mengahadi era Industry 4.0. “Untuk menjadi kreatif, maka dibutuhkan pikiran yang analitis seperti yang telah dicoba kembangkan ibu Wiwik dengan meminta siswa mengamati dan menemukan sendiri pengetahuan. Selain itu, karena era Industry 4.0 itu mesin banyak mengambil alih pekerjaan, salah satu hal yang masih tidak bisa dilakukan mesin adalah kemampuan bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif. Hal ini juga telah dilakukan olehnya,” ujarnya.

Khundori berharap, demi memastikan siswa memiliki soft skill demikian, pembelajaran model MIKIR seperti ini diadopsi oleh banyak pihak. “Saat terjadi bonus demografi pada tahun 2030 nanti, anak-anak yang ditumbuhkan kemampuan soft skill semacam itu, akan lebih siap menghadapai persaingan ekonomi. Mereka lebih analitis, kreatif, mampu bekerjasama, dan tampil percaya diri,” pungkasnya. (Humas Tonoto Foundation)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *