Banyak dari kita belum pernah mendengar Suku Boti. Ya, Suku Boti merupakan salah satu suku tertua di Provinsi NTT. Keberadaannya yang nyaris tak terdengar memang sempurna dengan lokasi mereka bermukim jauh dari kehidupan kota dan jalanan yang seadanya untuk dilalui kendaraan bermotor.
Dari Kupang, Ibukota Provinsi NTT, terlebih dahulu kita akan memasuki Kota So’e yang merupakan Ibukota dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kota kecil yang sejuk, penghasil buah jeruk. Pada saat musim jeruk, kita dapat membeli buah tersebut langsung dari pohon. Jangan heran kalau dengan uang sebanyak lima ribu rupiah kita sudah bisa dipersilahkan memakan jeruk sepuasnya dari pohon.
Untuk menuju perkampungan Suku Boti, masih harus kita tempuh selama kurang lebih dua jam dari kota So’e atau sekitar 50 km. Jalanan tanah bercampur batuan tajam yang kami lalui merupakan jalur sehari-hari dari masyarakat setempat. Untuk menuju perkampungan ini, kita bisa menyewa ojek ataupun dengan mobil. Apabila kondisi jalanan basah setelah hujan maka tingkat kesulitan semakin tinggi. Cukup beruntung apabila sungai kering yang ada disana masih bisa dilewati.
Konon ceritanya, apabila kita mempunyai niat baik, maka apapun kondisinya, baik itu hujan, sungai meluap ataupun pohon tumbang sekalipun kita pasti akan sampai di perkampungan tersebut. Namun apabila kita mempunya niat yang jelek, walaupun cuaca cerah sekalipun maka kita tidak akan bisa sampai masuk ke perkampungan Suku Boti. Sebelum menuju perkampungan Suku Boti, terlebih dahulu kami mencari informasi di kantor-kantor dinas pemerintahan setempat untuk mencari dan meminta tolong untuk menemani kami masuk ke perkampungan.
Akhirnya kami diarahkan untuk mencari seorang pria paruh baya bernama Bapa Kris. Beliau adalah pegawai negeri di dinas pendidikan. Beliau merupakan keturunan dari Suku Boti namun sudah menetap di luar dari perkampungan utama karena sudah memeluk agama Kristen. Batas wilayah antara Suku Boti yang masih memeluk agama adat dan agama Kristen atau Islam hanya pagar bambu yang melintang seperti layaknya batas wilayah.
Masyarakat Suku Boti yang sudah memeluk agama Kristen atau Islam tinggal di wilayah sebelah luar, sementara di dalam adalah mereka yang masih memegang teguh kepercayaan Halaika, dewa yang mereka sembah, yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah yang mereka anggap sebagai “Ibu Dewa” adalah yang mengatur dan menjaga kehidupan alam semesta. Sementara Uis Neno yang mereka anggap sebagai “Bapa Dewa” adalah penguasa alam baka yang menentukan apakah kita bisa masuk surga atau tidak berdasarkan perbuatan-perbuatan kita di bumi.
Selama perjalanan menuju perkampungan Suku Boti kami diberitahu oleh Bapa Kris mengenai tata krama pada saat berada di dalam perkampungan. Larangan-larangan tersebut harus terlebih dahulu mendapat ijin dari Bapa Raja yang merupakan Raja dan Kepala Suku dari Suku Boti. Tidak lupa juga kami membeli oleh-oleh sekedarnya berupa sirih dan pinang. Contoh larangan-larangan tersebut antara lain: Kami tidak boleh menggunakan kamera, tidak boleh jalan-jalan mengitari perkampungan, dan harus menerima makanan atau minuman apapun yang diberikan oleh tuan rumah.
Sesampainya kami di rumah Bapa Raja, kami disambut oleh Mama Raja yang merupakan Ibu dari Bapa Raja. Ternyata Bapa Raja sedan ada urusan di tempat lain dan kami dipersilahkan menunggu. Yang membuat kami cukup terkejut adalah ketika Mama Raja mengatakan kepada kami bahwa sebelum pergi Bapa Raja sudah menunggu kedatangan kami dan beliau berpesan agar kami menunggu. Beberapa menit kemudian, beberapa orang dari warga Suku Boti datang dan bercerita bersama kami. Yang cukup unik dari mereka juga adalah mengenai tradisi untuk tidak memotong rambut mereka baik laki-laki atau perempuan. Dan rambut mereka pun digulung keatas seperti konde. Tradisi yang yang lain adalah tidak menggunakan alas kaki kemanapun mereka pergi.
Suku Boti hidup dalam tradisi dan akar budaya yang kuat. Prinsip tersebut mereka jalankan sampai saat ini. Apabila ada anggota masyarakat yang berbuat jahat dan melanggar tradisi, maka sanksi pun diberikan. Mereka akan dikeluarkan dari lingkungan tersebut. Dan apabila ada anggota masyarakat yang ingin memeluk agama Kristen atau Islam, maka mereka dengan sukarela keluar dari lingkungan tersebut. Seperti Bapa Raja yang sekarang berkuasa, beliau adalah anak laki-laki kedua dari Mama Raja. Sang pewaris tahta sudah memeluk agama Kristen dan meninggalkan kampung Suku Boti untuk hidup di kota. Contoh lain adalah apabila salah satu warga kedapatan mencuri ternak milik warga lain, misalnya kambing, maka si pencuri dipersilahkan keluar dari lingkungan tersebut, namun semua warga secara kolektif akan memberikan si pencuri tersebut kambing. Mereka mengganggap bahwa si pencuri sedang mengalami kesusahan sehingga mencuri, dan sudah kewajiban mereka sebagai saudara untuk membantu.
Hidup dengan kearifan lokal adalah hal yang membuat mereka masih ada dan bisa hidup sejahtera. Jauh dari kehidupan kota, gemerlap lampu dan hiburan televisi, masih kita dapatkan bagaimana masyarakat Suku Boti menjaga dan melestarikan warisan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. (sumber; namata.wordpress.com)