Jakarta, berandanusantara.com- Peneliti dari Flobamora Institute, Komisaris Besar (Kombes) Polisi Alfons Loemau berpendapat, kisruh yang terjadi pada penyelenggaraan Pilpres 2014 dikarenakan Polri sebagai lembaga yang mempunyai data hasil pemungutan suara mulai dari tingkat TPS, belum dimintai keterangan oleh Mahkama Konstitusi (MK). Menurutnya, Benteng terakhir konstitusi adalah meminta Kapolri untuk mengklarifikasi data hasil pemilihan Presiden 2014.
“Kenapa MK tidak panggil saja Kapolri yang dibayar dengan uang pengamanan pemilu trilyunan rupiah. Itu riil uang rakyat,” kata peneliti dari Flobamora Institute Alfons Loemau dalam satu diskusi bertajuk “Tantangan Profesionalitas Pembuktian Pemilu yang Jujur Luber” di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (20/8).
Menurut Alfons, MK harus memintai keterangan Polri yang mempunyai data tentang hasil pilpres 2014 mulai tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Setelah itu, sandingkan dengan angka di TPS yang dicatat oleh KPPS tentang jumlah berapa yang memilih dan yang pilih A dan B berapa saja.
Data di setiap TPS, kata dia, harusnya pada hari yang sama akan diteruskan ke Polres, Polda, hingga Mabes Polri. Data-data Polri itu harusnya disandingkan dengan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pengadu, teradu, serta pihak-pihak terkait. “Nanti akan ketemu, pembuktian dalam rangka kepastian hukum adalah alat bukti, mengacu pada alat bukti,” jelasnya.
Ia menjelaskan, sesuai informasi, MK akan memverifikasi dan mencocokan alat bukti yang begitu banyak, serta keterangan saksi-saksi. Namun saksi-saksi ini kadang abai, karena mereka adalah orang awam yang tidak mengetahui proses pemungutan suara yang benar.
“Dia dibayar Rp 100-300 ribu, teken dan pulang saja dulu, nanti KPPS dan KPU yang kerja,” paparnya.
Lebih lanjut Alfons mengatakan, membuka data yang dimiliki Polri merupakan hal sangat yang penting, terlebih aparat kepolisian dibiayai negara untuk mengamankan pilpres. Sedangkan Kapolri pernah mengelak bahwa tidak mempunyai data tersebut dengan alasan hanya melakukan pengamanan dan turut mencatat angka itu hal yang tidak mungkin, itu berbeda dengan keterangan anak buahnya.
“Dalam salah satu pernyataan Kapolri terlalu dekat, kalau kami menyaksikan, tapi berbeda dengan pernyataan Kapolres Nabire, keterangannya berbeda dengan ketua KPU,” tandasnya. “Kalau memang Kapolri datanya tidak beres, mungkin kita berhentikan saja, karena ini negara, untuk apa membayar orang-orang tidak profesional sesuai sumpah jabatannya,” tegas Alfons. (BN/H.Terbit)