Baja adalah nama sebuah bukit kebanggaan masyarakat Kedang khususnya dan Kabupaten Lembata pada umumnya. Bukit Baja terletak sekitar 80 km arah timur kota Lewoleba itu disaat kita melintasi menuju Balauring ibu kota kecamatan omesuri dan Wairiang ibu kota Kecamatan Buyasuri dimusim hujan maka panorama alam Bukit Baja sungguh terpikat nati dan tepesona seakan- akan kenikmatan indahnya Bukit Baja sangat terasa.
Hamparan batu putih yang membentang kurang lebih 15 hektar itu membuat siapa saja yang melintasnya pasti tepesona dengan ramahnya bukit yang satu itu. Ditumbuhi dengan rumput rendah seperti alang-alang, dan beberapa tumbuhan rendah lainya serta tumbuhan tinggi yang didominasi kayu pahlawan (bahasa setempat) membuat kita selalu mengingatnya.
Sinar mentari disore hari memancarkan kemerahanya diufuk barat, guliran ombak dibibir pantai Balaiuring silih berganti tak henti-hentinya membuat kita terpengangah dan tetap betah menikmati alam bukit ini. Namun jangan salah sangkah hal seperti yang dilukiskan ini ketika penulis atau semua orang melintasi saat Bukit Baja pada musim hujan, yang Nampak disana adalah ramahnya alam bukit Baja ciptaan maha khalik.
Tetapi bagaimana Bukit Baja disaat pergantian musim ? Kisah ramah seperti yang dilukiskan awal tulisana ini, tentunya berputar menjadi 360 derajat karena keindahan dan panorama alam yang ramah dan tepesona itu kini berubah menjadi hamparan tandus nan gersang ulah anak manusia.
Manusia sudah tidak bersahabat lagi dengan bukit yang satu ini, tetapi menjadi tragis dan kadang baja sedang menangis ketika kita memandangnya karena rerumputan alang –alang dan kayu pahlawan yang menghiasi bukit ini telah hangus dilalap sijago merah ulah jahilnya tangan manusia.
Hamparan puluhan hektar itu kini tinggal puing – puing kosong, semua tumbuhan sudah tak kelihatan lagi dan hewan-hewanpun telah pergi meninggalkan bukit baja entah kemana rimbahnya. inilah kisah pilu yang disaksikan penulis disaat melintasi bukit baja (selasa,5/8/2014).
Sejenak kami diam kemudian berdiskusi apa salah alam ini sehingga bukit yang sebenarnya ramah dan indah menjadi bukit kering dan menangis? Tanya Emiliana Darmin saat mengambil gambar di bukit kesayangan itu menggelitik memang tapi apa mau dikata,baja telah hilang keramahanya dan yang tersisa hanyalah sebuah hamparan bukit kosong dan kamipun hanya diam seakan bisu.
Namun pada kesempatan itupun kami mulai teka teki tentang jawaban atas pertanyaan tersebut, sekitar 20 menit lamanya akirnya kami bersepakat oh bukit itu jadi telanjang karena dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap panorama alam bukit Baja, dan mungkin “bakar dan membakar” di Lembata sudah merupakan “Budaya lokal” yang tak bisa dibendung oleh peraturan daerah setempat. Karena merupakan budaya, sehingga padang di Lembata hampir setiap musim kemarau tiba padang tersebut pasti menangis sepanjang masa.
Pertanyaanya apakah tidak ada solusi lain selain budaya bakar? Memang ini merupakan pekerjaan berat bagi pemerintah dan tokoh-tokoh masyarak tokoh-tokoh adat, tokoh agama dan seluruh warga masyarakyat Lembata, terkhusus lagi adalah wakil rakyat kita. Kalau bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi. Bukit Baja saat ini lagi menangis. Semoga. (Wily Rambung)