Jaga Toleransi, Masjid Tolikara Dibuat Menyerupai Gereja

  • Whatsapp
Kota Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, awal Desember 2014. TEMPO/Cunding Levi
 Kota Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, awal Desember 2014. TEMPO/Cunding Levi
Kota Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, awal Desember 2014. TEMPO/Cunding Levi

JAKARTA, berandanusantara.com – Seorang pengurus Masjid Baitul Mutaqin di Tolikara menceritakan awal mula berdirinya Masjid tersebut sebelum akhirnya terbakar akibat amuk massa pada Jumat lalu. Pengurus itu mengaku pernah tinggal di Masjid selama kurang lebih empat tahun. “Sekitar 2005 hingga 2008 saya tinggal di Masjid itu belum pernah ada kerusuhan,” ujar Djon, menolak menyebutkan nama lengkapnya, ketika dihubungi Tempo, Selasa, 21 Juli 2015.

Masjid Baitul Mutaqin, kata dia, dibangun sekitar tahun 1990-an. Menurutnya, selama itu, tidak ada kerusuhan yang pernah terjadi. Kerusuhan baru terjadi pertama kali saat umat muslim Tolikara tengah melaksanakan salat Idul Fitri pada Jumat lalu.

Sebagai minoritas, pria itu mengakui jika ingin melakukan ibadah selayaknya tidak mengganggu umat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) yang mendominasi Tolikara. Salah satunya dengan tidak membuat kubah di atas Masjid Baitul Mutaqin. “Kita selalu menjaga supaya jangan terlalu kelihatan mencolok ketika beribadah. Mereka (GIDI) sudah menerima. Mereka enggak melarang,” ujarnya.

Selain itu,kata dia, pada saat adzan juga tidak menggunakan pengeras suara yang dapat mengganggu masyarakat sekitar.

Masjid tersebut, kata dia, memang sengaja tidak dipasangi kubah agar tidak terlihat begitu menonjol menyerupai bangunan masjid. Bahkan, masjid itu juga sengaja dicat hitam layaknya tanda misionaris. Hal tersebut, kata dia, sengaja dilakukan supaya tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah jamaah GIDI sehingga umat muslim bisa tetap menjakankan ibadah. “Jadi dibikin menyerupai rumah supaya tidak terlalu mencolok dan tidak mengundang perhatian. Yang penting kita bisa ibadah,” ujarnya.

Pada 2007, kata dia, pernah dibuat petunjuk arah yang memberitahukan jalan menuju masjid dan papan nama masjid. Sayangnya, hal tersebut tak disetujui oleh warga GIDI setempat. “Akhirnya papannya kami pasang di depan pintu masjid saja,” ujarnya.

Menurut pria tersebut, jamah GIDI di Tolikara sudah sangat mentolerir keberadaan umat muslim di sana dibanding beberapa daerah lain seperti di distrik Bokondini. Misalnya, pada hari Minggu diperingati sebagai hari ibadah jamaah GIDI dan semua kios-kios wajib ditutup selama seharian. Namun, jamaah GIDI mengizinkan umat muslim untuk menutup kios setengah hari saja. “Kita diperbolehkan buka kios jam 12,” ujar dia.

Kerusuhan Tolikara bermula ketika pada Jumat pagi, 17 Juli 2015, sekelompok warga jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) memprotes pelaksanaan salat Idul Fitri di halaman masjid, yang terletak di dekat tempat penyelenggaraan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Injili Pemuda.

Polisi kemudian melontarkan tembakan ke arah jemaat GIDI. Akibatnya, sebelas orang terluka dan satu anak tewas. Tembakan ini memancing kemarahan lebih besar. Jemaat GIDI mulai menyerang dan membakar rumah serta kios di dekat lokasi salat Idul Fitri. Api kemudian merembet ke masjid.

Saat kebakaran meluas, warga muslim Tolikara berusaha menyelamatkan diri. Salat Idul Fitri terpaksa dibatalkan. Enam rumah, sebelas kios, dan satu masjid ludes terbakar. (Tempo.co)

Related posts