KUPANG – PT Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara atau yang kita kenal Bank NTT, selalu menjadi ‘seksi’ untuk diperdebatkan. Isu santer saat ini yang sudah berkembang dimasyarakat umum yakni penempatan direksi dan komisaris, sebagai pengurus Bank NTT. Sempat terkatung selama kurang lebih 1 tahun lantaran sarat kepentingan, akhirnya di akhir April 2018, ada oase dan harapan baru soal isu santer tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang melaukan Fit and Propper Test mengumumkan nama nama pengurus baru yang layak dan lolos untuk memimpin Bank NTT empat tahun kedepan.Dari 7 nama yang mengikuti seleksi terakhir ini, hanya 5 nama yang dinyatakan lolos dan bisa dicalonkan sebagai direksi dan komisaris Bank NTT. Mereka diantaranya, calon Komisaris Utama Hali Lanan Elias, calon Komisaris Independen Semuel Djo dan Sukardan Aloysius. Untuk calon direksi, ada nama Alex Riwu Kaho, Direktur Pemasaran Dana dan calon Direktur Kepatutan Hilarius Minggu. Sedangkan Eduardus Bria Seran, Calon Direkrur Utama dan Thadeus Sola, Calon Direktur Umum, dinyatakan gagal dan tidak lolos seleksi.
Munculnya nama Eduardus Bria Seran sebagai calon Direkrut Utama yang tidak lolos, menimbulkan respon beragam. Bagaimana tidak, proses pencalonan Bria Seran untuk maju menjadi calon Direkrtur Utama, menuai polemik berbagai kalangan, salah satunya adalah KNPI NTT yang sempat menggugat Gubernur NTT sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP), terkait hasil RUPS Luar Biasa di Labuan Bajo, Maret 2017, yang menyepakati untuk merubah Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, agar massa kepengurusan menjadi tiga periode.
Politis memang keputusan RUPS Labuan Bajo. Sebab dari semua kepengurusan yang ada saat itu, hanya Adrianus Cheme, mantan Direktur Umum dan Eduardus Bria Seran Direktur Pemasaran Dana dan Tommy J Ndolu Direktur Kepatuhan yang diuntungkan dengan keputusan itu. Tapi fakta berkata lain.
Hasil RUPS Labuan Bajo terus ditentang oleh KNPI NTT dan Serikat Pekerja Bank NTT. Namun pemegang saham dibawa kendali PSP tidak bergeming. Mereka tetap berpatokan pada hasil yang ada. Manuver Labuan Bajo tidak berhenti disitu saja, Agustus 2017, RUPS Luar Biasa di Maumere dilangsungkan. Sudah diprediksi dari awal, bahwa tidak ada kejutan luar biasa dalam RUPS LB kali ini. Pemegang saham dengan suara bulat menyetujui pencalonan Eduardus Bria Seran sebagai calon Direktur Utama, Alex Riwu Kaho sebagai calon Direktur Pemasaran Dana, Hilarius Minggu sebagai Calon Direktur Kepatuhan, Thadeus Sola sebagai calon Direktur Umum serta posisi Absalom Sine, Direktur Kredit tetap sebab baru menjalani satu periode.Keputusan RUPS Luar Biasa Maumere wajib dilaksanakan, dengan tetap berpatokan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan Undang-Undang Perbankan nomor 7 tahun 1992. Walau keputusan tertinggi ada dalam RUPS, tetapi UU Nomor 40 tidak bisa kesampingkan UU Nomor 7 tentang Perbankan, sebab Perseroan yang mengatur soal perbankan dan jasa keuangan memiliki undang-undang khusus yang dikenal dengan istilah Lex Speciallis.
Sebab dia Lex Speciallis, maka rumusan penjelasannya mengandung makna Lex specialis derogat legi generalis yang artinya, salah satu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Artinya dalam kasus ini, kedudukan undang undang perbankan mengesampingkan aturan dalam undang undang perseroan. Sebab dalam UU Nomor 7 tentang Perbankan tahun 1992, Pasal 38 menjelaskan, pengangkatan anggota direksi bank wajib memenuhi keahlian dibidang perbankan, yang teknis pelaksanaannya wajib diatur oleh OJK, BI atau Surat Edaran OJK dan Surat Edaran BI yakni salah satunya Fit and Propper Test.
Hasil RUPS Luar Biasa Maumere kemudian dijalankan oleh direksi yang ada, dengan mengirim nama yang dipilih di Maumere, untuk dikirim ke OJK agar mengikuti Fit and Propper Test. Proses ini juga sempat berpolemik hingga April 2018. Berkas para calon sempat dikembalikan guna dilengkapi, sebab ada beberapa calon yang belum dianggap belum memenuhi syarat.
Tarik ulur ini sempat menimbulkan perang terbuka antara Tomy Ndolu, Direktur Kepatuhan dengan KRN (Komite Renumerasi dan Nominasi) Bank NTT, sebagai pihak yang mengurus pencalonan direksi, sebab beberapa item aturan, diduga dilanggar oleh KRN. Puncaknya, pada saat 31 Desember 2018, disaat jabatan direksi berakhir. Tomy Ndolu, Direktur Kepatuhan denga legowo dan jiwa besar mengundurkan diri berdasarkan aturan yang ada. Namun demikian, tidak dengan Eduardus Bria Seran, PLT Direktur Utama Bank NTT.
Eduardus Bria Seran, tetap bertahan, dengan berlindung dibawa SK Gubernur NTT, Frans Leburaya, yang melakukan perpanjangan massa jabatan Pelaksana Tugas, sambil menunggu hasil Fit And Propper Test dari OJK. Namun dalam SK tersebut, kembali menuali polemik. Sebab diduga kuat, SK tersebut dibuat bertentangan dengan aturan hukum yang ada, sebagaimana diamanatkan dalam UU PT Nomor 40 tahun 2007, soal mekanisme pengangkatan direksi yang wajib melalui RUPS atau RUPS Circular Resolution. Tapi aturan ini dikesampingkan.
Tentu manuver ini, tidak luput dari pengamatan OJK. Sebagai lembaga yang dibentuk oleh Bank Indonesia dengan aturan dan Undang-Undang perbankan, OJK mengamati permainan ini, sambil menunggu momentum tepat mengeluarkan hasil keputusan sebagai senjata terakhir dengan konsep dan aturan yang jelas.
Tanggal 13 April 2018, OJK keluarkan surat keputusan tentang salinan hasil Fit And Propper Test calon direksi. Kejutan terjadi, nama Eduardus Bria Seran dan Thadeus Sola dinyatakan tidak lolos. Keputusan ini, membuat Serikat Pekerja Bank NTT tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, perjuangan mereka akhirnya menuai hasil.
Besok, Jumat, 25 Mei 2018, Bank NTT melakukan RUPS reguler sekaligus melantik calon direksi yang lolos Fit And Propper, serta PLT Direktur Utana yang baru. Dengan adanya agenda pelantikan ini, permainan semakin menarik. Di satu pihak Serikat Pekerja Bank NTT inginkan ada penyegaran dan aturan tetap diberlakukan, namun dilain pihak, manuver-manuver kecil tetap dimainkan guna mempertahankan hasil RUPS Luar Biasa Agustus 2017 di Maumere. Semua kembali kepada pemegang saham dan Gubernur NTT selaku PSP (Pemegang Saham Pengendali) Bank NTT.
Dalam posisi seperti ini, Gubernur NTT harusnya melihat lebih arif akan kepentingan Bank NTT. Sebab, dengan beberapa bulan sisa massa jabatannya, tentu sikap arif ini penting agar tetap menjaga eksistensi Bank NTT, ketimbang membuat keputusan yang akan menimbulkan polemik lebih jauh, yang berujung pada eksistensi Bank NTT. Tetap jalankan ini sesuai aturan yang ada yakni berpatokan pada Undang-Undang Perbankan karena sifatnya Lex Specialis dan hasil keputusan OJK. Sebab Bank NTT tetap akan menjadi kebanggan masyarakat NTT, tentu harus dijalankan dengan baik dan benar, tanpa harus terkontaminasi dengan kepentingan luar.
Pilihan kongkrit yang harus dilakukan Gubernur NTT selaku PSP hanya berpatokan pada keputusan OJK. Dengan melantik kepegurusan Bank NTT yang lolos Fit and Propper, serta melakukan proses ulang untuk mengirim nama calon direktur utama dan direktur umum guna mengikuti tes agar mengisi jabatan ini.
Apabila Gubernur NTT menentang hasil keputusan OJK, tentu polemik akan berlanjut dan kredibilitas Bank NTT akan turun. Sebab pertanyaan kritis tentu akan muncul, mengapa Gubernur NTT getol mempertahan calon direksi yang tidak lulus Fit and Propper Test OJK, ketimbang jalankan aturan yang berlaku?. Semoga Gubernur dan para pemegang saham bisa lebih bijaksana menyikapi hal ini. Ketimbang melakukan manuver dan berpolemik.
Sebab dalam peraturan OJK no 27 tahun 2016 pasal 2 ayat 4, jelas mengisyaratkan bahwa calon direksi atau komisaris atau pengawas yang belum mendapat persetujuan OJK dilarang melakukan tindakan tugas dan fungsi sebagai anggota direksi, komisaris atau pengawas walau telah mendapat persetujuan dari RUPS. (Sumber: fokusnusatenggara.com)