Oleh : Oceph Namang
*Pemerhati sosial & budaya, Tinggal di Lewoleba-Lembata-Nusa Tenggara Timur
Berkisah soal budaya wisata di wilayah yang bukan merupakan daerah asal dan rumpung budayaku sebenarnya bukanlah suatu hal yang layak karena kedalaman kisahku tentang aset wisata itu tidak sedalam kisah orang asli wilayah itu. Akan tetapi, aku tergugah dan tergiur untuk menorehkan kisah budaya ini berdasarkan pengalamanku selama kurang lebih sepuluh hari berada di seputar asset wisata yang belum terjamah itu. Ide tuk menorehkan kisah indah ini berawal ketika aku membongkar kembali agenda harianku yang mencatat rapih kisah kunjunganku ke wilayah ini Oktober 2007 silam. Ketika melihat tahun awal kisah ini dimulai tentu secara spontan banyak orang pasti berujar kisahnya sudah basih. Akan tetapi, nilai kisah itu tidaklah basih melainkan selalu indah dan berarti dari waktu ke waktu.
Kisah ini dimulai diakhir Oktober sampai awal November tepatnya pada tanggal 29 Oktober – 12 November 2007. Kegiatan kunjungan ini merupakan suatu agenda wajib dalam masa-masa pembinaan di kala itu. Tempat yang menjadi sasaran kunjungan ini masih sangat alamiah belum terjamah berbagai proyek modern. Menyebut nama Nunang (nama tempat itu-red) bagi kebayakan orang pasti sangat asing, bahkan bagi orang-orang Manggarai pun banyak yang tidak mengetahui letak kampung ini. Sungguh kampung ini masih sangat alamiah baik kehidupan masyarakat maupun tempat-tempat yan ada di wilayah ini. Akan tetapi, dari keterpencilan dan keasliannya terkandung potensi wisata yang sangat menjanjikan yang sama sekali belum terlirik oleh wisatawan karena akses ke wilayah itu masih sangat minim.
Sano Nggoang, begitulah nama potensi wisata yang masih luput dari lirikan kebanyakan wisatawan baik local maupun internasional. Ketika menyebut nama Sano Nggoang pasti banyak orang akan bertanya-tanya kira-kira itu nama apa? Apakah nama tempat, nama binatang, nama makanan, atau jangan-jangan itu nama orang? Semuanya pasti dalam tanda tanya besar. Keasingan nama ini memang tidak dapat dipungkiri karena memang selama ini tidak ada akses untuk mengetahui potensi wisata ini. Berbeda ketika orang menyebut nama Komodo dan Rana Mese. Orang pasti langsung mengetahui bahwa nama-nama itu merupakan asset wisata yang ada di wilayah Manggarai. Komodo merupakan salah satu hewan purba yang langkah yang hidup di pulau Komodo dan menjadi asset wisata yang sangat menjanjikan. Begitu pula dengan Rana Mese adalah salah satu danau yang juga menjadi asset wisata yang menjanjikan. Lantas bagaimana dengan Sano Nggoang? Semuanya masih dalam tanda tanya besar.
Sano Nggoang merupakan salah satu danau yang memiliki diameter yang cukup besar. Area yang menjadi kawasan danau itu sangat luas. Danau itu merupakan salah satu danau vulkanik yang ada di wilayah Manggarai Raya. Akan tetapi, selama ini potensi ini belum terlirik, yang dilirik hanyalah wisata komodo dan danau Rana Mese. Danau ini terletak di kabupaten Manggarai Barat, kecamatan Werang khususnya di Nunang. Danau Sano Nggoang memiliki kadar belerang yang sangat tinggi sehingga hampir tidak ada kehidupan di danau itu. Yang hidup di danau itu hanya salah satu jenis itik, yang seringkali ditangkap untuk dijadikan lauk bagi masyarakat yang hidup di sekitar danau itu.
Keteduhan danau itu memberikan banyak inspirasi bagi setiap insan yang ingin mencari keteduhan jiwa di seputar danau itu. Riakan air danau dan hembusan sepoi-sepoi sang bayu menghantar setiap insan yang lagi terpukau di tepih danau itu pada suatu ketenangan dan kedalaman batin. Kerisauhan jiwa seakan lenyap seketika, ketika pandangan diarahkan pada riakan air danau dan keteduhan yang dihembuskan sang bayu. Setiap insan sepertinya akan mendapat suatu ketenangan dan kekuatan serta semangat baru ketika berada di tepihan danau itu. Ketenangan situasi di sekitar danau, keteduhan air danau, kesegaran hembusan sepoi-sepoi sang bayu, kicauan burung-burung di sepanjang tepih danau seakan mewartakan kepada dunia modern akan keaslian wilayah itu. Kaslian inilah yang memberikan nilai budaya yang sangat tinggi.
Keaslian objek wisata ini memberikan akan memberikan suatu nilai rasa budaya yang berbeda dengan asset yang sudah dijamah dan diolah dengan kecanggihan modernisasi. Meski sama-sama merupakan aset wisata, akan tetapi kesan dan nilai rasa yang dirasakan oleh setiap pengunjung tentunya akan berbeda. Yang asli tentu akan lebih menarik dan punya nilai yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan yang sudah dimodifikasi. Sampai kapankah keaslian aset ini terus terjaga dari jamahan tangan manusia?